Jumat, 17 April 2009

GOLPUT, SUARA BATAL, DPT DAN MALAPETAKA DEMOKRASI

Oleh
Fajlurrahman Jurdi
Direktur EKsekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-Indonesia
Harian Fajar, 07 April 2009
Persoalan substansial dari demokrasi kita adalah pendidikan politik dan kemauan untuk meng-enganged diri dalam arena publik. Baik sebagai peserta aktif maupun pasif, dalam arti keterlibatan itu, tidak harus menjadi kontestan, namun juga memilih kontestan.
Pemilu tampaknya menyisakan berjuta harapan bagi konstruksi demokrasi di masa yang akan datang. Pemilu 2009 ini bagi sebagian besar pengamat menganggap sebagai puncak terakhir untuk menguji "kelayakan" proses transisi demokrasi untuk dievaluasi secara menyeluruh.
Apakah kita akan mengikuti "bisikan" demokrasi di masa mendatang, atau malah kita akan menghentikan proses transisi ini sebagai titik episetrum untuk kembali melakukan rekonsolidasi ke kutub otoritarianisme.
Atau kita mengikuti siklus Polybios, bahwa kita akan segera secara perlahan-lahan menuju fase lanjutan siklus, yakni oligarki. Tampaknya pertanyaan apapun di masa kini, hanya akan bisa dijawab setelah Pemilu 9 April mendatang.
Sebelumnya Robert Dahl mengingatkan, bahwa demokrasi kita saat ini amat sangat kuantitatif, atau Dahl mengatakan demokrasi prosedural (procedural democracy). Kita menganggap persoalan kebangsaan, seperti kemiskinan, kemelaratan, keterbelakangan, kebodohan dan kepandiran kita sebagai bangsa bisa diselesaikan dengan angka-angka.
50 persen + 1 adalah cara yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan problem kebangsaan itu. Demokrasi kuantitatif memang tidak sepenuhnya salah, sebagai limit agar menegaskan posisi kita untuk melakukan perubahan. Batasan-batasan kuantitatif memang perlu untuk menegaskan diri sebagai bangsa yang teratur.
Akan tetapi kalau kita berhenti pada hitungan-hitungan kuantitatif, pada angka-angka seperti 50 persen 1, maka kita akan menghentikan persoalan substansial dari demokrasi kita. Persoalan substansial seperti kemiskinan dan keterbelakangan, tidak bisa diselesaikan lewat hitungan 50 persen + 1, karenanya, problem epistemik kita sebagai bangsa amat berbahaya apabila itu yang kita jadikan ukuran untuk melakukan proses pembangunan.
Demokrasi kita terlalu materialistis, karenanya amat mahal. Partai tidak berpikir untuk bekerja untuk membangun kaderdisasi dan pendidikan politik, sehingga tidak ada satupun partai di Indonesia yang bisa disebut sebagai partai ideologis. Yang bertebaran dalam arena demokrasi kita adalah partai massa, yaitu partai yang seluruhnya bekerja membangun kekuatan untuk merebut kekuasaan.
Dalam kaitannya dengan pemilu dan harapan yang terlalu besar akan demokrasi, ada beberapa persoalan teknis yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh negara/kekuasaan dalam upaya untuk menciptakan demokrasi.
Dengan harapan dan dada membusung mengaku telah bekerja keras demi suksesnya ritual suksesi politik dan hajatan demokrasi. Semua perangkat telah disiapkan dan prasyarat hajatan demokrasi telah ada, tinggal menunggu detik-detik suksesi itu dimulai.
Seolah-olah dalam pidato telah bekerja maksimal, seolah-olah dalam ceramah tak ada masalah, juga seolah-olah semuanya tak ada masalah. Itulah lembaga Pemilihan Umum kita yang bernama KPU. Komisi ini belakangan bekerja amburadul dibanding pada tahun 2004.
Ada beberapa masalah yang akan segera muncul dan akan menjadi ancaman serius bagi proses transisi demokrasi kita. Pertama, Golput. Golput telah menjadi hantu yang amat menakutkan bagi partai politik dan para caleg, sama menakutkannya negara Orde Baru bagi civil Society di masa Soeharto berkuasa.
Golput atau golongan putih ini akan menjadi momok bagi eksistensi mereka, sekalipun memang tidak akan mendelegitimasi mereka secara hukum, namun apabila jumlah pemilih tidak mencapai 50 persen, maka akan menjadi alasan bagi kelompok oposisi untuk mengatakan bahwa kinerja partai politik untuk meyakinkan rakyat telah gagal. Juga menjadi alasan, bahwa demokrasi kita, sebagai tahap ujian untuk menentukkan sikap dalam intaian ancaman.
Sampai Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa haram Golput, sekalipun itu Fatwa yang agak "menyebalkan" dan bukan fatwa teologis, namun lebih pada fatwa politik, maka Golput akan mencapai angka dramatis, akan berkisar 35-45 persen. Sebuah angka yang amat menakutkan bagi proses konsolidasi demokrasi. Kita lihat angka Golput di beberapa Pilkada.
Dari beberapa hasil Pilkada berikut data Golput di masing-masing Pilkada, baik Pilbup, Pilwalkot, sampai Pilgub: - Golput di Pilgub Jateng 45,3 persen, Jatim 39,2 persen, Kaltim 42,07 persen, DKI Jakarta 36,2 persen, Pilgub Sulsel 33 persen, Jawa Barat 34,67 persen, Kalbar 37,69 persen, Banten 39,28 persen, Sumatera Utara 41 persen, Kalsel 40 persen, Sumbar 37 persen, Jambi 34 persen, Kepri 46 persen, Pilbup Cirebon 38, 22 persen, Bandung 30,19 persen, Pilbup Pati 50 persen, Bogor 45 persen, Wajo 32 persen, Sukoharjo 42,33 persen, Wonogiri 39,05 persen, di Pekalongan dan Solo masing-masing 50 persen, sedangkan angka golput tertinggi tercatat di Pilwalkot Pontianak yang mencapai 61 persen. Tampaknya angka ini adalah merupakan angka yang luar biasa, juga sekaligus betapa demokrasi kita di ambang petaka.
Kedua, Suara Batal. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan suara terbanyak, telah menyimpan sejumlah persoalan bagi demokrasi kita. Jika kita melihat ukuran kertas suara yang akan dicoblos di bilik suara pada tanggal 9 April nanti, sungguh ngeri bagi kualitas demokrasi. Letak dasar persoalannya bukan pada surat suara, tetapi kesiapan voters (pemilih) untuk melakukan pencontrengan.
Ukuran kertas yang selebar 84 x 63 sentimeter, dan jumlah partai yang banyak akan menyulitkan bagi pemilih. Ada dua problem besar bagi masyarakat yang tidak berpendidikan apabila melihat surat suara, yakni (1) Jumlah partai yang banyak dengan warna partai yang sama untuk beberapa gambar, dan (2) Di dalam kotak partai itu, ada urutan nama caleg. Jika pemilu tahun 2004 pemilih hanya memilih partai, sehingga agak mudah bagi mereka untuk membedakan, maka Pemilu 2009, selain kertas suara banyak, jumlah partai juga banyak, dan yang sangat menyulitkan nanti adalah mencari nama para caleg yang akan dipilih.
(3) Metode Contreng. Bagi masyarakat awam, ketika masuk bilik, tangan mereka gemetar ketika memegang pulpen. Ini akan berpengaruh secara psikologis ketika mencoblos. Karenanya, suara batal dalam Pemilu 2009 ini akan mencapai angka 20-25 persen. Pengalaman beberapa fungsionaris PuKAP-Indonesia yang terlibat dalam proses pendidikan politik arus bawah di beberapa daerah di Sulsel, menemukan kesulitan pemilih memilih partai, memilih caleg dan cara mencontreng.
Ketiga, Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang menjadi wacana hangat belakangan ini. Diperkirakan mereka yang tidak bisa memilih pada pemilu ini akibat birokrasi negara yang bernama UU Pemilu, juga sekaligus tidak adanya taktik untuk memberi ruang bagi yang tidak terdaftar sebagai pemilih untuk memilih pada tanggal 9 April, akan sangat banyak yang tidak bisa terlibat dalam pemilu.
Jika demikian, maka problem demokrasi kita akan tambah rumit. Di Sulsel saja jumlah DPT bermasalah berjumlah 67.639 nama. Di Jatim ada sekitar 43.088 DPT bermasalah. Begitu juga mungkin di tempat-tempat lain.
Lalu, di mana hitungan kuantitatif itu bisa dilakukan, jika engangement masyarakat beserta tetek bengek yang lain bisa mencapai angka di atas 50 persen? Ini impossible untuk melanjutkan agenda transisi demokrasi dengan mengabaikan hak-hak rakyat yang paling asasi.
Karena itu, menegosiasikan masa depan demokrasi pasca Pemilu 2009, tidak bisa dilanjutkan dengan menempatkan rakyat sebagai yang berdaulat, apabila keadaan politik hanya untuk upper class. Apalagi hitungan kuantitatif tidak mencapai limit yang tercantum dalam prosedur demokrasi.
Hitungan 50 persen + 1 tidak mencapai ambang batas, karena apabila dikalikan tidak sampai limitasi demokrasi. Katakanlah Golput 38 persen Suara batal 27 persen dan yang tidak bisa memilih 13 persen. Jadi, 38+23+9=70 persen. Jadi yang sah untuk merepresentasikan suara rakyat hanya 70 persen. Sungguh ini akan menjadi malapetaka bagi demokrasi.
Karena itu, meramalkan demokrasi sebagai suatu harapan di masa yang akan datang adalah tidak masuk akal dengan melihat infrastruktur politik seperti ini. Kecuali partai bekerja dan memulai untuk selanjutnya menjalankan tugas-tugas wajibnya. Selama ini partai politik tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagaimana layaknya seorang muslim yang menjalankan kewajiban menjalankan salat lima waktu.
Mereka telah berkhianat kepada rakyat dalam rantai sejarah yang amat panjang. Mungkin saatnya memang mereka harus dihukum, agar segera menyadari kesalahannya. Kita berharap ada perubahan mendadak dalam hitungan empat hari ke depan. Sehingga kita tidak mengalami kemunduran yang mengerikan di atas bertabuh harapan akan kemajuan demokrasi kita.

Selasa, 24 Maret 2009

PARTAI POLITIK PREDATOR MENUJU PEMILU 2009

Oleh: Fajlurrahman Jurdi
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-Indonesia

Menjelang pemilu 2009, ada harapan yang menggebu dari banyak masyarakat Indonesia, bahwa partai-partai politik akan mampu memberi harapan baru bagi masa depan Indonesia. Parta-partai politik, yang sekalipun telah lama dalam kubangan pragmatisme, paling tidak, 2009 adalah merupakan awal bagi mereka melakukan revitalisasi orientasi dan keberpihakannya bagi masyarakat.

Partai-partai raksasa seperti Golkar dan PDIP, sekalipun pasca reformasi usai mereka tak punya kontribusi besar bagi pembangunan demokrasi, namun mereka adalah merupakan bagian dari pilar demokrasi, yang mau tak mau, suka atauidak suka harus diakui baik secara yuridis maupun secara sosiologis dan politik.

Partai, sebagaiman tujuan utamanya, adalah merupakan saran untuk menampung dan mengartikulasikan kepentingan rakyat, memperjuangkan kepentingan rakyat dan berkhidmat untuk rakyat.

Namun harapan itu pupus ditengah kemelut yang melanda partai politik kita, karena partai sudah tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya, ia tidak lagi sebagai sarana untuk mengagregasikan kepentingan rakyat, juga bukan sarana untuk memperjuangkan hak-hak rakyat, sebagaimana tujuan awal partai di dirikan.

Partai sudah menjadi sebuah perkumpulan para “gerombolan” politik yang mencari kekuasaan dengan ’rakus’ dimana mereka adalah merupakan aliansi oligarki “nakal” yang sudah tidak lagi bisa diharapkan menjadi penopang tegaknya demokrasi.

Partai telah menyebabkan rakyat hidup dalam “pintalan-pintalan” harapan yang sulit untuk mereka pahami, partai telah menjadi perkumpulan orang-orang yang sedang menegakkan “ajaran dusta”, partai telah menjadi penentang demokrasi yang paling sah, partai telah menjadi alat untuk menciptakan konflik komunal bagi perkumpuan sebagian para “bandit” politik. Itulah partai, ia telah menjadi virus demoralisasi massal dalam sebuah sindikat demokrasi.

Terlalu banyak orang yang menaruh harapan pada partai politik, namun tidak sedikit rakyat yang kecewa dengan perilaku partai politik. Partai politik secara institusional memang tidak salah, namun perilaku orang-orang di dalamnya telah menyebabkan fungsi-fungsi penting partai politik tidak dijalankan. Belum ada partai yang benar-benar memiliki keberpihakan pada komunitas tertentu yang diatasnamakan. Partai buruh, belum memiliki basis kekuatan buruh, yang tentu berbeda dengan Labour Party di Inggris.

Partai PDIP yang mengaku diri sebagai partai wong cilik, namun tidak jelas perjuangan kerakyatannya, partai-partai Islam seperti PKS justru menambah beban moral umat Islam. Apalagi sekarang PKS sudah tidak lagi menjadi partai Islam yang berideologi, namun partai yang hanya menjadikan ideologi sebagai tumbal. PKS sudah mendeklarasikan diri sebagai partai Islam yang berideologi inklusif, ia telah merumuskan gaya baru pemikiran Islam yang inferior dalam berpolitik.

Di saat orang terlalu banyak berharap agar PKS menjadi penegak ajaran moral bagi simbol Islam Politik, namun PKS telah “melacurkan diri” dalam pragmatisme dan oportunisme politik. Indonesia selama dan pasca Orde Baru tidak ada yang terlalu banyak berubah. Masih mewarisi sistem dan mekanisme politik masa lalu yang dibangun di atas mentalitas para “Predator”. Mentalitas inilah yang telah menyebabkan sistem politik Indonesia masuk dalam jebakan pramatisme dan oportunisme, dimana partai politik menjadi bagian yang determinan.

Partai politik, dari ideologi mananapun dan atas tujuan apapun serta identitas yang bagaimanapun juga yang ia gunakan, tidak ada satupun yang mampu keluar dari mekanisme predator masa lalu tersebut.

Mekanisme dimana seluruh urat nadi dan karakter sistem yang digunakan telah menciptakan polarisasi, determinasi, dan bahkan alienasi “epistemologis” dan “aksiologis”, tanpa mempertimbangkan lagi mekanisme “ontologisnya”.

Partai, sekalipun tidak menjadi satu-satunya perkumpulan untuk menegakkan demokrasi, namun partai begitu penting adanya di dunia modern. Partai telah menjadi “berhala” yang dianggap “sakral” untuk mengatakan demokratis atau tidak demokratisnya sebuah Negara. Sekalipun itu memang bukan harga mati. Tetapi sekaligus partai politik telah mengajarkan mentalitas “predator”, yakni mentalitas menerabas dan jalan pintas dengan memangsa hak-hak rakyat.

Sesungguhnya kita punya harapan yang besar, bahwa partai politik adalah tetap menjadi kekuatan penopang demokrasi yang visible, apapun alasannya. Karena kita harus jujur mengatakan, bahwa partai politiklah yang dianggap sebagai jalan terbaik bagi tegaknya demokrasi yang sehat. Sekalipun bukan satu-satunya jalan untuk membangun demokrasi. Namun, jika partai politik masih mempertahankan identitas mereka seperti saat ini, yakni sebagai “alat untuk mencapai kekuasaan” bukan “alat untuk memperjuangkan kepentingan kemanusiaan”, maka lebih arif dan dewasa partai-partai politik itu di “tiadakan” demi dan atas nama “kemanusiaan/kerakyatan”. “Peniadaan” ini bukan karena tidak suka dengan partai politik, namun lebih disebabkan pada artikulasi peran dan fungsi partai politik yang telah melenyapkan “moral demokrasi” untuk merebut kekuasaan dengan mempertaruhkan beruta-juta rakyat jelata yang selalu menjadi korban pikiran-pikiran “palsu” dalam partai politik. Rakyat hidup dalam “kubangan” harapan akan janji-janji yang tak pernah ditepati dalam setiap episode rutinitas demokrasi. Dari “pesta demokrasi” yang satu ke pesta demokrasi yang lain, hanya harapan yang menumpuk dalam pikiran rakyat, hingga mereka menjadi “kepala botak” hanya memikirkan dan mengharapkan janji-janji palsu partai politik.

Jika memang partai politik masih merupakan jalan terbaik untuk menegakkan demokrasi, maka seharusnya partai-partai besar maupun kecil yang hadir dalam setiap perhelatan “akbar demokrasi” mempertahankan identitas, janji dan keyakinan politik yang diberikan kepada rakyat.

Pesta demokrasi bukan hanya sekedar acara rutin lima tahunan dengan menghadirkan kontestan partai politik yang begitu banyak, layaknya dalam tradisi Negara yang menganut paham demokrasi liberal, tetapi merupakan sebuah pesta untuk memikirkan tentang masa depan Indonesia Kita, bukan “Indonesia siapa-siapa”, bukan Indonesia “mereka”, atau Indonesia “dia”, tetapi Indonesia “miliki kita”. Dengan demikian, partai politik tidak didirikan untuk membangun “distingsi” antara “aku” dan “mereka”, tetapi untuk membangun bangsa kita, yang bernama Indonesia.

Dalam konteks inilah partai politik kita tidak bisa menempatkan diri pada posisi yang wajar. Mereka adalah anak kandung modernisasi, yang dengan modernisasi itu pula mereka berubah menjadi liberal. Liberalisasi politik pasca Orde Baru, tidak diikuti dengan mentalitas aktor politik yang berjiwa demokratis, tetapi justru banyak diantara mereka yang mewarisi mentalitas politik “masa lalu”, masa Orde Baru. Inilah menurut penulis, yang menyebabkan “hampir” gagalnya proses transisi demokrasi yang sedang kita hadapi.

Di saat krisis kepercayaan atas Partai Politik saat ini, seharusnya semua pengurus Partai melakukan “tobat politik” untuk segera merevitalisasi diri, sistem dan mekanisme “permainan” dalam Partai.
Partai-Partai yang berkuasa dan yang hidup di “pinggiran” kekuasaan saat ini adalah partai yang tidak memiliki karakter dan komitmen keberpihakan. Partai besar bekerja dengan “rakus” untuk mencari keuntungan agar bisa memegang kekuasaan pada Pemilu 2009, sementara partai kecil mengaca diri sambil mengubah nama dan platform, tanpa mengubah komitmen. Mereka semua adalah sama, yakni para “predator” yang hendak merebut, mengolah dan mengutak-atik kekuasaan untuk kepentingan partai dan individu.
Padahal, inilah saat yang tepat seharusnya bagi partai politik untuk mengubah diri, agar “citra diri” partai tidak selalu jelek dimata masyarakat. Pemilu 2009 bukan hanya sekedar ajang perebutan kekuasaan antar partai, tetapi merupakan awal “peperangan” politik yang dahsyat bagi partai-partai yang ikut dalam kompetisi ini.

Partai pendatang baru harus bisa memberikan yang “berbeda” dari partai-partai lama yang telah masuk dalam kubangan pragmatisme tingkat tinggi. Mereka harus hadir dengan ide baru, pikiran baru, gagasan baru, narasi baru, perjuangan baru, konsep baru, aktor baru, dan mentalitas baru. Bukan mentalitas “predator”.

SUKSESI POLITIK DAN RITUAL ANARKI

Fajlurrahman Jurdi
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-Indonesia

Kamis, 01-02-2007

Media Centre -- Untuk apa kekuasaan ada, untuk siapa kekuasaan berguna, kepada siapa kekuasaan berkhidmat?. Pertanyaan ini terus muncul disetiap zaman dan di setiap episode peradaban. Berbagai pencarian bentuk sistem politik, lahirnya dan matinya suatu negara, tumbuh dan tenggelamnya peradaban, semuanya bermuara pada satu soal: yakni bagaimana mencari bentuk kekuasaan. Atas nama kekuasaan, makam pahlawan dibangun diberbagai kota. Kekuasaan memang selalu meminta korban.Tulisan ini hendak menguji keabsahan suksesi politik sebagai sebuah agenda negara demokrasi dengan kebiasaan ritual suksesi di Indonesia yang berakhir dengan radikalisme dan anarkisme yang disebabkan oleh ambisi kekuasaan yang terlampau besar, sehingga menghalalkan segala cara dalam upaya menciptakan teror politik yang melanda negeri transisi yang pongah ini. selama ini, suksesi di Indonesia diwarnai dengan ritual mistisisme elit-elit politik yang meminta kepada dunia abstrak dengan pertapaan dan bersemedi untuk mendapatkan “wahyu kemenangan” dengan ritual kekerasan militer yang menjaga kamar-kamar pencoblosan dan proses-proses kampanye politik yang mewarnainya, sehingga ritual kekerasan, ritual anarki dan radikalisme adalah merupakan “persembahan” suksesi politik Indonesia yang telah lama menghiasi dunia politik kita. Tanpa pembedahan yang tajam, suksesi politik Indonesia akan selalu diwarnai dengan korba-korban akibat ritual “sesat” dan ritual “sadis” tersebut, tanpa ada rasa bersalah dari aktor-aktor pemain politik yang ada ditingkat elit.

Menurut Alan Brier suksesi politik didefinisikan sebagai cara kekuatan politik disampaikan, atau ditransfer, dari seorang individu, pemerintah atau rezim, ke individu, pemerintah atau rezim lain. Jadi, Suksesi politik adalah menyangkut upacara demokrasi, untuk meneguhkan dirinya sebagai salah satu indikator keberhasilan sebuah negara dalam melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses-proses politik yang berjalan. Antara “kekuatan” dan “jabatan” dalam suksesi harus benar-benar diterjemahkan secara simultan, karena yang ditransfer adalah “posisi kekuasaan” dan “otoritas kekuasaan” kepada orang lain, yang tentu saja kemampuan seseorang untuk mengapresiasi gagasan yang telah dirintis sebelumnya akan berbeda. Disinilah sesungguhnya akan terbangun satu rezim politik ideologis, yang menghendaki bahwa konstruksi politik yang telah dirintisnya, paling tidak bisa dilanjutkan oleh pewaris ideologis setelahnya. Akibatnya dalam proses transisi diwarnai dengan restu politik dan keterlibatan aktor-aktor lama yang sedang berkuasa untuk menyukseskan kader ideologisnya.

Bagi komunitas yang anti kemapanan, suksesi seperti ini hanyalah merupakan ritual suksesi yang tidak membawa perubahan, akibatnya situasi politik dan pergeseran kekuasaan tidak menyebabkan terjadinya pergeseran kebijakan dan karakter atas sistem politik yang ada. Lahirlah kekuatan politik yang lain yang akan mengancam posisi kekuasaan yang mapan ini, bahkan melabrak kekuatan politik yang mapan demi melancarkan agenda politik yang di usungnya.

Dalam proses suksesi, yang terjadi biasanya adalah gesekan politik yang sedikit memanas, karena pertarungan antara kekuatan politik yang saling merebut kekuasaan bisa menyebabkan terjadinya mobilitas massa politik meningkat. Tingkat emosi sosial ditentukkan oleh dukungan politik yang diberikan oleh mereka atas orang-orang tertentu yang menjadi calon penguasa politik dalam proses suksesi tersebut. Emosi sosial ini dapat bangkit jika terjadi gesekan kencan ditingkat elit, sementara elit yang diatas mengakomodasi tokoh-tokoh kultural untuk mendukungnya dalam menyukseskan agenda politik yang diusungnya. Provokasi elit kultural jauh lebih memiliki daya tarik kental dibanding dengan provokasi yang dimainkan oleh siapapun. Misalnya, di Jawa Timur, seorang ulama dianggap sebagai mesin penggerak massa yang efektif, karena dalam kultur masyarakat Islam Jawa. Ulama adalah pusat segala-galanya. Bahkan ada ulama yang kemudian dimitoskan, hingga kemudian dianggap sebagai pembawa wahyu; suatu pikiran irasional masyarakat tradisional yang masih bisa disaksikan dalam masyarakat Indonesia.

Hampir setiap proses suksesi politik, kekerasan dan anarki adalah merupakan simbol, bahwa suksesi berjalan dengan baik. Seakan-akan anarki adalah merupakan salah satu syarat, bahwa suksesi berlangsung dengan sukses jika dibarengi dengan anarki. Sehingga anarki adalah merupakan ritual yang bersamaan dengan ritual suksesi itu sendiri. Antara ritual anarki dan ritual suksesi sebagai proses politik tidak bisa dipisahkan. Dan celakanya, dalam ritual ini, yang selalu menjadi korban persembahan ritual adalah masyarakat, sementara pemimpin-pemimpin ritual tidak terkena kecipratan atas persembahan ritual tersebut.

Suksesi politik di Indonesia selalu diwarnai oleh ritual-ritual anarki, yang selalu menjadi korban persembahan adalah “manusia-manusia kecil” yang hidup dalam ketergantungan penuh atas permainan kekuasaan yang ada diatas mereka. Soeharto mempertahankan kekuasaan yang begitu lama diatas suksesi politik dengan ritual-ritual anarki yang sangat sistematik. Bahkan perjalanan kekuasaannya dipertahankan dengan persembahan atas “manusia-manusia kecil” ini sebagai tumbal. Dan para korban atas tumbal tersebut bertebaran dimana-mana. Ritual anarki terakhir yang dipersembahkan oleh Soeharto adalah pada tanggal 27 juli 1996, setahun sebelum Pemilu 1997. inilah ritual anarki terakhir yang termasuk dalam kategori sadis sepanjang kekuasaan Soeharto setelah tahun 1990-an.

Ritual anarki dalam proses suksesi politik memang sudah menjadi semacam kewajiban politik yang harus dijalani oleh masyarakat Indonesia, utamanya bagi pemain-pemain politik yang haus akan kekuasaan. Karena kehausan akan kekuasaan menyebabkan “laku bejat” untuk menukarkan darah orang lain dengan kekuasaan yang glamour, bejat dan penuh dusta-dusta.

Perayaan ritual anarki yang paling besar dalam dunia perpolitikan Indonesia terjadi ketika proses penurunan Soeharto tahun 1998, dan diganti oleh B.J Habibie. Anarki massal yang telah menerabas menghancurkan kekuasaan Orde Baru yang hegemonik dan tuntutan politik massa brutal ditahun itu, melahirkan satu catatan politik terpenting bagi proses suksesi politik Indonesia, bahwa proses suksesi yang selama 32 tahun dibawah kendali rezim Soeharto dibajak secara “sadis” oleh kekuatan massa yang tak bisa dipahami sepenuhnya kemauan mereka.

Akhir cerita kekuasaan Soeharto ini, banyak pengamat politik yang bermimpi, bahwa proses politik ditengah transisi demokrasi akan berjalan secara partisipatoris, tanpa ada yang dikorbankan, tanpa ada anarki lagi, tanpa ada janji-janji dusta seperti dulu. Tetapi ritual anarki menjadi semakin gila, korban-korban anarki bertambah kuantitasnya dan tukang-tukang janji dusta semakin menganggap bahwa dusta adalah “berkah politik” yang harus diucapkan. Akhirnya politik dan suksesi politik di Indonesia dipenuhi oleh berbagai cerita-cerita dusta, korban-korban ritual anarki dan ditingkat yang lain pemain politik yang tak pernah merasa berdosa dengan tingkah laku bejatnya.

Ritual anarki kemudian diperparah dengan kehadiran UU No. 22 tahun 1999 yang diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah secara langsung. Ritual anarki yang secara serentak terjadi di seantero negeri ini adalah pasca Pemilu tahun 2004 dan Pilkada Langsung sepanjang tahun 2005. Pilkada Langsung telah menambah intensitas suksesi politik lokal, pada saat yang sama juga ditandai dengan meningkatnya korban-korban ritual anarki. Karena ritual anarki terjadi berbarengan dengan suksesi politik yang terjadi disuatu wilayah. Karena kekuasaan logikanya selalu meminta korban, dan gilanya, yang selalu menjadi korban adalah “manusia-manusia kecil”. Pilkada telah menambah rentetan korban atas ritual anarki ini. konflik horizontal, radikalisme massa, dan penghancuran institusi-institusi negara adalah merupakan korban-korban ritual anarki.

Memasuki tahun 2007 ini, Sulawesi Selatan akan diperhadapkan dengan proses suksesi politik, yang sejatinya juga akan melahirkan ritual anarki. Korban dari ritual anarki ini adalah “manusia-mansuai kecil” yang dimanfaatkan oleh tangan-tangan “iblis” kekuasaan dan pemain-pemain politik yang ingin menghalalkan segala cara, persis seperti anjuran Machiavelli. Indikasi kearah ritual anarki menganga lebar dalam proses suksesi pilkada Sul-Sel nanti, karena tokoh-tokoh primordial, elit-elit adat, dan tokoh-tokoh kunci mistik telah banyak diakomodasi oleh para pemain politik untuk dijadikan mesin mengendali massa. Juga tersebarnya Baleho dan brosur salah satu calon di seluruh daerah di Sul-Sel padahal kampanye belum dimulai, adalah indikasi akan rentan terjadinya ritual anarki yang berbahaya bagi masa depan demokrasi di Sul-Sel. Mudah-mudahan suksesi Pilkada di Sul-Sel terjadi tanpa ritual anarki.


Mahkamah Konstitusi Menghukum Tanpa Batas

Oleh: Fajlurrahman Jurdi

Fajar Kamis, 19-03-09

Hasil kajian PuKAP-Indonesia beberapa minggu terakhir tentang konstitusi, Pemilu, Demokrasi dan Kapitalisme menemukan berbagai problem bangsa kita. Salah satunya dalam tulisan ini mengenai UUD kita, terutama posisi Mahkamah Konstitusi yang merupakan lembaga hukum terpenting di negeri ini. Berikut ini hasil kajian itu.
Salah satu lembaga Negara yang diamanatkan dalam amandemen ketiga UUD 1945 adalah Mahkamah Konstitusi. Ini tercantum dalam Bab IX yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman pasal 24C. sementara pasal 24A dan 24B adalah masing-masing tentang Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam struktur ketatanegaraan RI adalah merupakan bentuk dari tuntutan reformasi peradilan agar MA tidak berkuasa sewenang-wenang sebagaimana di masa Orde Baru. Juga sebagai bentuk dari komitmen, agar UUD 1945 sebagai dasar bernegara tidak dilecehkan sebagaimana masa lalu.
Semangat reformasi mewarnai aroma perubahan UUD mulai dari perubahan pertama sampai perubahan keempat. Namun di dalamnya juga mengidap penyakit legitimasi dan hierarkis yang menjadi rantai panjang persoalan konstitusi hingga sekarang.
Dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 ditegaskan, dan ini menjadi problem lanjutan dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, yakni "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus sengketa tentang hasil Pemilu.
Semenjak Pemilu 2004 dan rantai Pilkada secara langsung sebagai akibat dari "hasutan" demokrasi liberal, persoalan hukum, politik, dan kekerasan mewarnai ritual demokrasi di Indonesia. Kekerasan politik dan ambivalensi demokrasi itu, berbarengan dengan tuntutan terhadap lembaga hukum untuk menyelesaikan perkara. Ditambah lagi munculnya produk legislatif yang banyak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga persoalan hukum kemudian menjadi tambah rumit.
Salah satu Putusan yang amat kontroversial adalah putusan MK pada tanggal 16 Agustus 2006, No. 005/PUU-IV/2006 atas UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, terutama mengenai kata "hakim". Bagi MK, kata "hakim" yang tercantum dalam UU KY, tidak termasuk Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.
Padahal dalam UUD baik dalam batang tubuh maupun penjelasannya, tidak ada pembagian kata "Hakim Agung" atau "Hakim Konstitusi". Tetapi oleh MK, dan keputusan itu amat berani, bahwa kata hakim dibagi, menjadi hakim MA, MK dan hakim PT dan dibawahnya. Tampaknya ini sudah diluar konteks UUD dan MK melewati kewenangan UUD. Inilah upaya "menghukum" tanpa batas, dan celakanya itu dibenarkan oleh UUD.
Setelah selesai putusan ini, ada pertanyaan yang hingga saat ini yang belum bisa dijawab. Siapa yang akan menindaklanjuti keputusan tersebut?. Apabila terjadi penafsiran hukum yang salah oleh MK, maka langkah hukum apa yang akan diambil?. Sementara dalam klausul pasal di atas dikatakan "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final�". Kata-kata ini menutup upaya hukum selanjutnya bagi pihak yang dirugikan.
Akibatnya, KY sampai sekarang tidak memiliki fungsi yang jelas pasca keputusan MK. Juga pertanyaan selanjutnya, Jika UUD memberikan kewenangan kepada MK melampaui UUD, lalu siapa yang akan menjadi eksekutor (yang menjalankan keputusan tersebut?). Di sinilah "banci"-nya DPR hasil pemilu 1999, juga sekaligus "banci"-nya UUD yang kita miliki. Sementara baik dalam UU No. 22 tahun 2004, UU No. 24 tahun 2003, UU No. 5 tahun 2004 masing-masing yang mengatur ketiga institusi kehakiman tidak memberikan instrumen hukum kepada lembaga mana yang akan menjadi eksekutor bagi putusan MK.
Kasus kedua, adalah putusan MK mengenai Pilkada Jawa Timur. Melalui Putusan No 41/PHPU.D-VI/2008, MK memutuskan agar KPUD Jawa Timur (Jatim) melakukan pemungutan suara ulang di Kabupaten Bangkalan dan Sampang. Ada dugaan bahwa putusan itu adalah putusan politik.
Ini dikaitkan dengan posisi ketua MK dan pertimbangan cost politik, serta pertimbangan hukum. Dalam UU Pemilu maupun UU MK, tidak ada klausul yang menyuruh untuk "memilih ulang", akan tetapi yang ada hanya "menghitung ulang suara". Tetapi yang terjadi kemudian adalah memilih ulang, bukan menghitung ulang. Bukankah keputusan itu melanggar hukum?.
Persoalannya MK tidak mengenal kata "melanggar" hukum dalam putusannya. Sebab UUD memberi ruang "nalar" yang sungguh amat merdeka pada MK. Ini menjadi suatu penyakit dalam demokrasi kita, tetapi, sekaligus mungkin inilah yang disebut dengan "kagagapan" demokrasi itu.
MK: Mahkamah Politik
Apabila kita merujuk konteks ini, maka sebenarnya pada bagian-bagian tertentu MK adalah pengadilan politik, bukan pengadilan hukum. Otoritas penafsiran konstitusi sepenuhnya ada di pundak mereka, sementara pada konteks lain, keanggotaan hakim di MK adalah merupakan hasil kolaborasi kuasa politik. Tiga orang dari MA, tiga orang dari DPR, tiga orang dari presiden hingga jumlahnya sembilan orang. Di dalamnya berkecamuk berbagai kepentingan yang hiruk-pikuk.
Mungkin ini merupakan bagian dari cek and balances, agar bisa saling mengontrol, tetapi juga kondisi psikologis hakim yang diproses secara politis dalam pengangkatannya merupakan masalah yang sulit untuk dibuktikan.
Disamping secara tidak langsung, posisi MK ada di atas UUD, maka dengan alasan hukum, MK akan mudah menegosiasikan keputusan-keputusan politis. Padahal seharusnya posisi MK harus dikontrol oleh konstitusi, namun dalam kenyataanya, MK yang mengendalikan UUD.
Tidak ada upaya hukum yang bisa menjerat MK apabila keputusan mereka melanggar nalar konstitusi, juga tidak ada ruang untuk memperbaiki keputusan. Pada akhirnya lembaga ini menjadi absolut dan otoriter. Karena itu, lembaga yang pada awalnya secara filosofis membawa semangat perubahan justru masuk dalam jurang arogansi konstitusional.

Dengan berdasar dan berpijak atas UUD, MK bertindak tanpa batas, menghukum tanpa kendali dan memutus tanpa kontrol, kecuali dengan alasan menjaga otoritas konstitusi. Satu-satunya alasan hukum adalah pasal 1 UUD 1945, dan UU No 24 tahun 2003 tentang MK, sedangkan secara politis, dalam konteks cek and balances keberadaan MK adalah representasi dari trias politica.
Persiapan MK menjelang Pemilu 2009
Sudah diduga oleh banyak kalangan, bahwa Pemilu 2009 ini akan membuat MK bekerja ekstra keras. Maka dipersiapkan ruang sidang teleconference di berbagai perguruan tinggi seluruh Indonesia agar bagi para pihak yang terlibat dalam sengketa Pilkada maupun Pemilu tidak harus ke Jakarta, cukup datang di tempat universitas-universitas yang telah ditunjuk oleh MK dan memiliki fasilitas teleconference. Untuk Sulsel, ruang sidang tersebut bertempat di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Sengketa Pemilu 2009 ini, akan terjadi antara pihak-pihak dibawah ini, yaitu:

1. Antar calon anggota legislatif
2. Antara calon anggota legislatif dengan partai
3. Antar partai kontestan Pemilu.

Kasus ini tidak akan sedikit jumlahnya nanti. Bayangkan, kalau dalam satu Daerah Pemilihan (Dapil) saja untuk Caleg DPRD di Kota Makassar jumlah Caleg berkisar antara 100 sampai 150 orang. Di kabupaten lain juga berkisar antara 25 sampai 50 orang dalam satu Dapil untuk kapubaten/kota. Untuk provinsi dan pusat juga jumlahnya bervariasi. Tergantung dinamika yang terjadi di suatu daerah. Dari jumlah secara keseluruhan itu, 10 persen saja yang bermasalah, maka MK harus bekerja siang dan malam untuk menyelesaikan kasus ini.
Jika MK, misalnya mengabulkan 3-5 persen dari jumlah secara keseluruhan gugatan sengketa Pemilu, institusi mana yang akan menjadi eksekutor dari hasil putusan tersebut?. Jika tidak ada eksekutor, maka untuk apa keputusan itu dikeluarkan?. Tidak kah keputusan itu akan menambah masalah baru bagi MK dan bagi demokrasi?. Tampaknya disinilah kegagapan instrument hukum kita.

Dengan melihat dan menduga akan muncul problem seperti ini, maka harus ada tawaran alternatif yang harus segera diambil, yaitu:
1. Harus segera dibentuk lembaga atau intitusi yang akan menjadi eksekutor bagi keputusan MK.
2. Lembaga/institusi tersebut harus segera dikonsolidasikan dengan DPR, Presiden, MA, KY dan KPU.
3. MK harus menjaga independensi dalam mengambil keputusan, karena ada asumsi, akan terjadi anarki politik yang berbarengan dengan ritual demokrasi.
Inilah persoalan penting yang akan segera menghadang Pemilu 2009 yang berkaitan dengan MK. Juga hukuman-hukuman tanpa batas yang dimiliki oleh lembaga ini. Karenanya, harus segera ada instrumen yang membatasi kekuasaan MK agar tidak terlalu absolut.

PKS Disamakan Soeharto Sebuah Fantasi

Oleh
Fajlurrahman Jurdi
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial Indonesia.

Tribun Timur Sabtu, 27-12-2008

Soeharto - oleh PKS - disamakan dengan Ahmad Dahlan, disetarakan dengan Soekarno, dipadukan dengan Mohammad Natsir. Betul-betul sebuah fantasi yang penuh godaan, namun itu adalah khayalan-khayalan yang menjijikan
Membaca tulisan Aswar Hasan, "PKS: Partai Kroni Soeharto" (Tribun, 18/12) membuat saya tergelitik sekaligus terkekeh, bahwa pandangan Aswar terhadap cita-cita reformasi masih belum kabur.
Ingatan masa lalu yang melekat dalam dirinya masih segar, sehingga kita harus mengatakan, bahwa seorang Aswar tidak mengalami penyakit amnesia akan sejarah masa lalu, sebagaimana yang menghinggapi sebagian besar anak bangsa yang lain, termasuk obyek dalam tulisannya.
Di saat sebagian besar anak bangsa mengidap penyakit "gila" ini, Aswar masih punya ingatan yang tajam akan apa yang telah diikrarkan disaat Soeharto mengalami delegitimasi dan di usir dari panggung politik secara sadis dan menggelikan.
Kacamata berpikir yang digunakan, ide yang dibangun serta gagasan yang lontarkannya, tentu merupakan keresahan akan fenomena penyakit Amnesia yang tidak memiliki obat untuk menyembuhkannya dengan baik, terutama bagi mereka yang berkuasa dan dikuasai di negeri yang hampir "biadab" saat ini.
Tulisan ini ditanggap oleh Irwan (Tribun, 22/12), anak muda yang menurut saya sedang mengalami penyakit amnesia sebagaimana kebanyakan anak muda yang lain.
Saya tahu siapa Aswar Hasan dan kenal siapa Irwan. Tulisan ini menohok menurut saya, karena sedang membela PKS yang memiliki "narasi besar" untuk membangun bangsa ini. PKS sebagai partai baru yang lahir dari jerih payah reformasi, tumbuh menjadi partai besar dan diharapkan sebagai alternatif bagi Indonesia dengan komitmen ideologinya, sebuah harapan bagi siapa saja yang hidup dalam ketidakjelasan transisi demokrasi yang penuh ambisi dan nafsu.
Sebagai partai baru yang lahir dari rahim reformasi, tentu semua orang sadar, bahwa PKS sedang ingin menata Indonesia yang ambruk tidak berdaya menghadapi sirkulasi demokrasi liberal yang penuh gagap dengan pesona gilanya. Selain partai baru, PKS memiliki ciri khas, yakni partai yang "dianggap" banyak orang sebagai partai "ideologis", suatu penempatan yang luar biasa disaat Indonesia tidak memiliki satupun partai Ideologi.
Inilah yang disinyalir oleh Duverger dalam "A Caucus and Brand, Cadre Party and Mass Party", Political Parties (1963). Duverger hanya mengakui dua kategori partai, yaitu partai ideologis atau kader dan partai massa. Dalam konteks ini, PKS pada awalnya adalah partai kader, tetapi lama kelamaan berubah haluan menjadi partai "fantasi". Yaitu bukan partai kader, juga bukan partai massa, tetapi partai yang ada ditengah sebagaimana kata Irwan.
Padahal ada di tengah hanya ada satu yang pasti, yaitu: Fantasi. Ini kemudian betul dengan gaya politik PKS yang suka berfantasi ria tentang Indonesia, tentang Islam, tentang simbol politik, persis seperti tulisan saudara irwan.
Ia ingin seperti pelangi, berubah dalam ketidakpastian, sama dengan ketidakpastian Indonesia yang sedang berfantasi.
Di Indonesia pasca Orde Baru, tanpaknya adalah problem yang menimpa pemilik otoritas, baik otoritas negara maupun pemilik otoritas partai. Pemilik otoritas partai mengalami kegagapan serius ke mana reformasi hendak dibawa.
Aswar adalah seorang intelektual yang masih konsisten dengan moralitas Islam, cita-cita reformasi dan problem-problem yang dihadapinya. Ia juga masih percaya akan masa lalu, tetapi bukan berarti "memberhalakan" masa lalu yang dipercayainya.
Aswar masih memiliki keterkaitan dengan kekuasan Soeharto, sebab pada masa itu, ia telah hidup di dalamnya, dibesarkan, dididik dengan kepongahan, namun tidak berdaya, sama dengan tidak berdayanya Fajroel Rahman yang dipenjarakan oleh rezim yang hampir tidak waras itu.
Utang negara menumpuk, oligarki dibangun dengan megah sambil menindih rakyat, harta dikumpul dengan keringat rakyat, mereka yang mengkritik dihancurkan dengan gaya Fir'aun. Soeharto adalah benar-benar seperti cerita Hannah Arend yang mengungkap kejahatan Nazi, ia setara dengan fasisme, mungkin ia berguru pada teks-teks klasik Fir'aun.
Soeharto - oleh PKS - disamakan dengan Ahmad Dahlan, disetarakan dengan Soekarno, dipadukan dengan Mohammad Natsir. Betul-betul sebuah fantasi yang penuh godaan, namun itu adalah khayalan-khayalan yang menjijikan.
Demi massa, saudara Irwan menafikkan ideologi, demi massa ia lari dari keyakinannya, bahkan demi massa barangkali PKS dan saudara Irwan akan keluar dari Islam. Ini bisa dilihat dalam tulisan dan keyakinannya, menghapus diri dalam hingar-bingar politik aliran, tetapi tetap mengaku PKS sebagai partai yang berideologi Islam, ingin meniadakan simbol demi pemilu 2009, padahal di dalam PKS mereka yang taat beragama, celana bergantung, kopiah menempel di kepala ke mana-mana sebagai simbol politik.
Sebagai partai reformasi seharusnya PKS sadar diri, bahwa masa lalu tidak boleh dilupakan, juga tidak harus dijadikan sebagai dendam, dengan demikian, masa lalu beserta kesalahannya harus dimaafkan. Namun menempatkan Soeharto sebagai guru bangsa dan pahlawan nasional, adalah melupakan masa lalu, bukan memaafkan masa lalu.

Memaafkan masa lalu adalah untuk menjadi arif agar bisa belajar dari dosa-dosa masa lalu, tetapi menghadirkan Soeharto beserta segala kebusukan yang dibangunnya dimasa lalu, adalah betul-betul tindakan yang "tidak waras".
Tingkah laku PKS belakangan ini, menurut hemat saya sebagai orang awam, telah terpisah dari akar persoalan masa lalu, serta hendak berpisah dari ideologi yang dianutnya. PKS sudah mulai tidak percaya dengan keyakinannya, ini terbukti dengan keinginannya menjadi partai yang terbuka, membuka sekat-sekat ideologi, dan berkoalisi dengan partai-partai sekular.
Di saat yang sama ia tetap tampil sebagai kekuatan ideologis. Inilah tingkah laku politik partai, yang dalam kajian ilmu politik disebut perilaku politik (political behavior).
Karena PKS meragukan keyakinan dan hendak menjadi partai "tengah", tidak ke-kiri, juga tidak hendak ke-kanan, maka perilaku politiknya menjadi ambivalen. Di satu sisi secara faktual ia adalah partai kanan konservatif, melebihi PBB dan PPP, namun di sisi lain, takut tidak menang di Pemilu 2009.
Ketakutan ini, jika tidak di rem dengan keyakinan ideologis yang kuat, maka akan terseret arus pragmatisme yang betul-betul menjijikkan. Dan inilah yang sedang menubruk PKS sekarang.
Sikap politik yang mudah berubah seperti bunglon, adalah sikap orang-orang "munafik" sebagaimana yang disinyalir dalam Al Quran.
Ada pembelaan terhadap partai yang begitu kuat, bahkan berani memposisikan partai sama dengan "Islam", adalah sikap naïf orang-orang tidak sehat cara berpikirnya. Karena itu, perlu ada pemisahan dan tidak mencampuradukkan partai sebagai kendaraan politik dan Islam sebagai suatu keyakinan.
Saya menganggap, bahwa Aswar Hasan dengan segenap kelemahan dan kelebihannya, hendak mengatakan kegelisahannya melihat tingkah laku politik PKS yang mulai mengalami tua renta, melewati renta-nya Golkar, PDIP dan PPP sebagai partai lama. PKS sebagai partai yang baru lahir "kemarin sore", secara tiba-tiba dan mengejutkan lupa akan dosa-dosa Soeharto.
Lupa akan segala jerih payah mereka yang telah meruntuhkan Soeharto dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Berbeda dengan saudara Irwan yang masih muda belia seperti muda dan belianya PKS, sedang mengalami penyakit amnesia yang berbahaya. Jika anak muda kita mengidap penyakit "gila" ini, maka tunggulah kehancuran Indonesia.
Karena hari ini seorang tokoh koruptor dipenjara dan tahun depan keluar dari jeruji itu, maka oleh orang-orang yang mengidap penyakit amnesia, sang tokoh koruptor ini juga akan dinobatkan sebagai guru bangsa dan pahlawan nasional. Kalau ini yang terjadi, betul-betul gila dan tidak waras lagi kita sekarang.
(Tribun)

Minggu, 18 November 2007

PREDATOR REFORMASI; STUDI ATAS KEGAGALAN PERUBAHAN SOSIAL DI INDONESIA

Fajlurrahman Jurdi

Salah satu tim Deklarator dan Inisiator Central Study Resistance (CSR)-Jakarta



Tahun 1998 adalah merupakan tahun yang sulit untuk dilupakan bagi mereka yang hidup di akhir Abad XX di Indonesia, bahkan negara-negara di dunia. Keruntuhan kekuasaan rezim yang sangat langgeng berkuasa selama 32 tahun dan memiliki ideologi represif, adalah satu catatan tersendiri bagi suatu proses politik. Selama 32 tahun, Indonesia diperintah oleh rezim politik yang tidak normal cara berpikirnya, otoriter dan mempunyai kehendak represif atas demokrasi, sekalipun selama sekian puluh tahun itu demokrasi masih menjadi alat penindasan bagi pemerintah.

Selama rezim itu berkuasa, secara telanjang anak bangsa yang hidup di dalamnya mengalami resistensi kekuasaan yang sangat rentan, kekangan rezim yang terlalu tiran dan kekerasan politik yang menjadi ritual yang tak bisa dihindari. Kekuasaan rezim yang terlampau otokratik, resistentif dan kolaboratif dengan rezim pasar seperti Orde Baru, ternyata telah mampu menjalankan pilihan-pilihan politik yang sangat dilematis, bahwa Orde Baru adalah merupakan nama yang harus tetap melekat dalam pikiran anak bangsa yang hidup di akhir abad XX tersebut. Orde Baru adalah menjadi simbol kekerasan, penindasan dan pemiskinan, Orde Baru adalah simbol keserakahan, Orde Baru adalah simbol pelapukan moral bangsa ini. Orde Baru adalah simbol “pelacuran” kekuasaan yang harus selalu di ingat dalam pikiran anak bangsa ini, karena Orde Baru adalah sekaligus sebagai pembawa bencana dan pelaku kekerasan dalam dunia politik.

Di dalam tubuh Orde Baru, bertemu penyakit moral dan etik yang “merogoh” kemanusiaan, karena di dalam Orde Baru, pengkhianatan dan pembusukan politik adalah pilihan-pilihan politik yang dianggap segar oleh elit kekuasaan, sehingga di dalam tubuh Orde Baru melekat pintalan-pintalan penyakit sosial, politik, ekonomi, moral dan kekuasaan yang berlebihan. Orde Baru terlalu percaya diri dalam membawa bangsa ini menjadi baik sebagaimana yang di improvivasi.

Pidato-pidato kekuasaan menandakan pidato yang bernuansa kekerasan, “mulut” Soeharto sebagai pelakon tunggal kekuasaan Orde Baru adalah “mulut singa” yang lapar, selalu meminta korban. Sebagai aktor tunggal, tentu saja Soeharto telah berubah menjadi ideologi yang menakutkan, tertanam di kepala aparatus negara yang juga otaknya di ciptakan secara represif.

Pada konteks inilah, Soeharto telah mampu mentransendensikan diri sebagai “Nabi” politik yang selalu di takuti, “firman-firman” politiknya cenderung menggerakan aparatus untuk patuh pada kehendak-kehendak personalnya, yang membunuh kreatifitas, menekan sikap korektif, menindas kekuatan-kekuatan oposisi di Indonesia. Soeharto telah menjadi “nabi” kalau tidak bisa disebut sebagai “tuhan” bagi masyarakat, dengan dukungan ideologi pancasila dan di apresiasi secara patuh oleh Aparatus represif sebagaimana yang di katakan oleh Althuser.

Akan tetapi kepatuhan yang berpintal-pintal itu, juga bersamaan dengan tertanamnya perasaan eksesif dari gerakan sosial yang ingin merubah kepatuhan itu menjadi modal perlawanan. Tekanan, represi dan penindasan yang di agungkan secara terus-menerus ternyata bukanlah jalan keluar untuk menyelamatkan Soeharto dengan dinasti yang dibangunnya. Kemarahan anak muda Indonesia yang di desain oleh modernisasi selama kekuasaan Soeharto, bukan jaminan bagi langgengnya kepatuhan, bukan jaminan untuk menciptakan dukungan tanpa reserve kepada kekuasaan, akan tetapi dari bangunan modernisasi yang di gerakkan dibawah komando kekuasaan itu, benih-benih perlawanan itu tercipta secara genuine. Mereka yang di besarkan dalam ruang modernisasi dan sekaligus menjadi anak kandung rezim industrialisasi Orde Baru, tidak mampu menyelamatkan negara Birokratik tersebut dari kemarahan yang berpintal-pintal tadi, bahkan mereka menjadi bagian dari kelompok yang menghancurkan “ayah kandung” yang membesarkan mereka yang bernama modernisasi tersebut.

Soeharto sebagai simbol Orde Baru beserta pendukung setia dibelakangnya mengalami delegitimasi yang begitu serius di tahun 1998, bahkan pontang-panting menghadapi kemarahan generasi yang mereka didik di bawah ideologi kepatuhan tersebut. Generasi muda yang dibesarkan dalam budaya pop Jakarta, menjadi marah terhadap negara yang mendidik dan mengajarkan serta memfasilitasi budaya pop bagi mereka.

Orde Baru yang congkak, dan hampir menjadi “tuhan” tersebut dihancurkan oleh generasi yang mereka besarkan sendiri. Kemarahan, kutukan, protes, demonstrasi dan sebagainya, telah secara kasar mengusir otonomi Negara dibawah ketiak Soeharto tersebut, pada saat yang sama perubahan yang berjalan secara timpang sepanjang 32 tahun harus berakhir. Kemiskinan yang di tutup-tutupi dengan penindasan, demokrasi yang ditelikung oleh apparatus represif, hukum yang menjadi hamba penguasa, ideologi yang ditafsirkan secara tunggal, korupsi yang dijalankan secara kolaboratif antara pemiliki modal dan keluarga Soeharto, adalah representasi begitu jahatnya rezim Orde Baru, bahkan untuk menyelamatkan kejahatan-kejahatan tersebut harus menjalankan ritual pengorbanan. Nyawa manusia harus melayang tanpa beban, kebebasan harus di intimidasi adalah pengorbanan yang sangat mahal bagi masyarakat Indonesia hanya untuk menyelamatkan kekuasaan. Dan tumbal-tumbal itu telah menjadi korban bagi kelanggengan dan mempertahankan rezim otoriter yang ganas tersebut.

Semenjak Soeharto lengser dari kekuasaannya, satu dekade yang lalu, Indonesia telah memasuki apa yang dikenal dengan sebutan “Masa Reformasi”. Dalam khasanah ilmu politik sendiri, masa ini disebut sebagai masa transisi dari rejim otoritarianisme ke sebuah pembentukan rejim yang lebih demokratis. Sebuah masa yang menurut Guillermo O’Donnell (1986) dipenuhi oleh ketidakpastian, karena peluang untuk kembali mundur ke kutub otoritarianisme sama besarnya dengan peluang maju ke kutub demokrasi (Mada Sukmajati: 2004).

Lengsernya Soeharto dari kekuasaan pada tahun 1998 adalah merupakan bentuk kejengkelan, akumulasi kekecewaan, dan kemarahan masyarakat yang sudah tidak ingin lagi hidup dalam kepenatan rezim yang menyesakkan nafas tersebut. Rezim yang menyesakkan dada, menekan kebebasan dan membiarkan masyarakat menghirup “udara busuk yang diproduksi oleh rezim” tersebut.

Dalam masa transisi ini juga, dinamika kehidupan politik rakyat jauh lebih tinggi ketimbang dalam masa kekuasaan rejim otoriter. Hal ini disebabkan, pertama, adanya tarik menarik yang sangat kuat antara kekuatan-kekuatan pendukung status quo dengan kekuatan-kekuatan pendukung perubahan. Kedua, rakyat Indonesia di semua lapisan saat ini masih mengalami gejala yang dikenal dengan istilah “euphoria” politik. Ketiga, terkait dengan dua point sebelumnya, tidak adanya political will dan keseriusan terhadap pelaksanaan agenda-agenda reformasi (Mada Sukmajati: 2004).

Reformasi hanyalah cerita yang tak bermakna, mimpi yang tidak tercapai dari generasi muda Indonesia yang sempat mengamuk tahun 1998. Mereka yang berlomba-lomba menghancurkan Soeharto, mau tak mau harus di sebut sebagai pelaku yang melawan kekuasaan otokratisme negara tersebut, sebuah kekuasaan yang di besarkan dengan retorika politik yang penuh nafsu kekerasan.

Desakan-desakan oposisional yang menjelma menjadi kemarahan itu telah menimbulkan perlawanan yang tak terbendung, yang tidak pernah terjadi selama Soeharto berkuasa. Jika sepanjang episode tahun 1970-an, 80-an, hingga awal dan pertengahan 90-an adalah tahun-tahun bencana bagi gerakan sosial, maka di penghujung tahun 90-an adalah merupakan tahun kemenangan bagi mereka atas negara, yang telah sekian lama mengandalkan kepatuhan dan ketundukan. Dekade 70-an hingga akhir 90-an adalah merupakan dekade dimana personalitas kekuasaan Soeharto masih di anggap mitos yang sulit untuk di tembus daya keramatnya, sehingga bagi mereka yang mencoba menembus mitologi kekuasaan yang keramat tersebut, maka kutukan tak terhindarkan. Kekerasan atas kemanusiaan menjadi kenyataan politik yang hidup bersama dengan anak bangsa tersebut. Soeharto bersama aparatur represifnya telah melakukan proses pembusukan atas karakter kemanusiaan, melacuri demokrasi dan mengkhianati pancasila yang di tafsirkan secara sewenang-wenang oleh mereka.

Akan tetapi semua itu mengalami delegitimasi secara serius di penghujung abad XX, di saat-saat Soeharto mengalami puncak kemapanan kekuasaannya yang bersamaan dengan usianya yang tua renta, serta kelompok oportunis di belakangnya tidak lagi mendukungnya.

Pada akhirnya kekuasaan yang tua renta itu, di gugat keabsahannya, sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Beberapa Indonesianis merasa kaget dengan situasi Indonesia yang penuh dengan emosi. Sekalipun di awali dengan krisis kurs rupiah terhadap dolar, akan tetapi kemarahan itu adalah bentuk kutukan mereka terhadap negara yang terlalu birokratis, represif dan pada saat-saat tertentu sewenang-wenang. Kehancuran Soeharto bisa dimengerti adalah merupakan bentuk protes mereka terhadap negara yang begitu jahat atas kebebasan masyarakat, karena pada masa ini kebebasan di belenggu oleh kehendak politik yang personal.

Gerakan reformasi atau semi-revolusi tersebut adalah sebuah gerakan yang muncul dalam suatu konteks yang tidak di kehendaki oleh kekuasaan, juga tidak diduga oleh hampir saja semua kepala anak bangsa yang hidup di bawah komando Soeharto. Tetapi secara tiba-tiba, muncul sporadisme dan kekerasan yang sangat serius untuk melakukan delegitimasi atas kehendak negara Orde Baru.

Reformasi bukan hanya sekedar menghancurkan mitologi kekuasaan Soeharto yang birokratis dan represif itu, akan tetapi juga adalah untuk mendorong perubahan sosial politik yang hampir tidak pernah berjalan selama tiga dekade kepemimpinan Soeharto. Perubahan sosial yang tersumbat akibat kepemimpinan tersebut dibuka selebar mungkin dan perjalanannya dipercepat. Pada titik yang paling nadir, perubahan sosial yang kebetulan di beri nama reformasi itu kemudian mengalami disorientasi, bahkan telah menambah beban sosial politik yang makin berat. Reformasi, dengan segala resiko yang telah bersama-sama dengannya, telah mendorong Indonesia pada sebuah fase politik yang disebut oleh berbagai pengamat dengan transisi demokrasi. Sebuah fase yang menurut penulis penuh dengan intrik, dilema dan pilihan-pilihan yang amat sulit untuk di dijalankan.

Enam visi reformasi yang terdiri dari amandemen UUD 1945, supremasi hukum, mencabut dwifungsi TNI/Polri, otonomi daerah, budaya demokrasi yang rasional dan egaliter, serta pertanggungjawaban Orde Baru masih sebatas agenda, dan belum menampakkan hasil sedikitpun. Reformasi tahun 1998 sebagaimana yang penulis katakan di atas adalah merupakan satu bentuk semi-revolusi yang begitu dahsyat, membongkar secara telanjang kekecewaan rakyat atas Orde Baru. Menurut Eep Saifullah Fattah (2000: xxix-xxxiii) ada beberapa substansi perubahan mendasar bisa diidentifikasi dalam proses reformasi, yaitu:

Pertama, kekuasaan mengalami proses desakralisasi. Salah satu hakikat reformasi yang penting adalah terciptanya desakralisasi (pengakhiran kesakralan) kekuasaan beserta perangkat-perangkatnya. Di masa Orde Baru, kekuasaa cenderung disakralkan sehingga kritik atau penentangan atas kekuasaan tidak dimungkinkan. Saat ini proses desakralisasi itu sedang berlangsung. Di satu sisi desakralisasi adalah positif. Desakralisasi menunjang tumbuhnya kekuasaan yang sehat dan bertanggung jawab. Namun jika proses desakralisasi ini berlangsugn tanpa batas, yang mungkin muncul justru sebuah bahaya: lembaga-lembaga pemerintahan yang berfungsi mengelola kehidupan bermasyarakat dan bernegara di tolak secara permanen, sebaik apapun yang dilakukan oleh lembaga-lembaga itu.

Kedua, pembangunan mengalami proses demitologisasi. Reformasi juga telah mengubah persepsi banyak orang tentang “pembangunan”. Jika sebelumnya pembangunan di mitoskan sebagai sesuatu niscaya yang mendatangkan kebaikan-kebaikan bagi masyarakat; saat ini pembangunan banyak di kritik sebagai salah satu sumber dari banyak malapetaka sosial-politik-ekonomi yang dihadapi rakyat. Saat ini banyak orang berbicara mengenai pembangunan sebagai sebuah kekeliruan.

Demitologisasi pembangunan di satu sisi merupakan hal positif. Adalah tidak sehat terlalu mengagung-agungkan pembangunan dengan pendekatan kacamata kuda (hanya melihat aspek keberhasilannya dengan menutup mata pada aspek-aspek kegagalannya). Namun di sisi lain, menafikkan sepenuhnya hasil konkret pembangunan, namun juga benar bahwa pembangunan telah mendatangkan banyak kemajuan fisik di tengah masyarakat. Pengakuan seimbang seperti inilah yang seyogyanya dikembangkan dalam masyarakat, sekalipun mesti diakui bahwa secara umum, pembangunan ala Orde Baru terbukti gagal menjalankan humanisasi; menjaga dan meningkatkan martabat manusia.

Ketiga, Orde Baru mengalami degradasi kredibilitas. Proses reformasi juga ditandai dengan turunya secara drastis kredibiltas Orde Baru. Saat ini, hampir tidak ada orang yang bersedia di identikkan dengan Orde Baru. Orde Baru menjadi sesuatu yang tidak laku. Padahal, sebelumnya, Orde Baru diagungkan secara heroik. Pendeknya degradasi kredibilitas Orde Baru terjadi secara tegas di tengah proses reformasi.

Keempat, hak dan kewajiban rakyat mengalami redefinisi. Segera setelah pergantian presiden, banyak kalangan seperti menjadi kuda liar yang baru dilepaskan dari istal. Kebebasan menjadi suasana umum dimana-mana. Ini merupakan salah satu gejala umum dimana-mana. Ini merupakan salah satu gejala dalam kerangkan terjadi redefinisi (pendefinisian ulang) hak-hak politik rakyat. Jika di masa sebelumnya sangat sedikit hak politik yang bisa dinikmati rakyat, di tengah reformasi, rakyat seolah-olah boleh menentukkan sendiri hak-hak politik yang harus dinimatinya. Daftar hak politik rakyat pun bertambah panjang secara dramatis. Bahkan setiap kali ada aturan – sedikit apapu aspek pengendalian dalam aturan itu – banyak orang serta-merta berteriak bahwa hak-hak rakyat akan dipasung kembali.

Kelima, sejarah mengalami reinterpretasi. Bersamaan dengan berjalannya proses reformasi, sejarah mengalami penafsiran ulang. Sebegitu hebatnya reinterpretasi ini berlangsung sehingga mantan Presiden Soeharto yang pada awalnya dipahami dalam sejarah sebagai penyelamat negara darikudeta komunis tahun 1965-1967, belakangan ini justru di gugat peranannya dalam G-30-S/PKI. Peranan-peranan yang dimainkan oleh Soeharto dalam perjalanan sejarah bangsa pun – misalnya dalam peristiwa serangan umum 1 Maret di Yogyakarta – mengalami gugatan dan reinterpretasi serupa.

Pendekatan sejarah yang tidak normatif memang sebuah dictum: sejarah ditulis oleh mereka yang menang. Dalam kaitan ini, reinterpretasi sejarah yang dilakukan di tengah proses reformasi memang bisa dimaklumi. Ketika Soeharto menjadi “pemenang” selama masa Orde Baru, interpretasi atas sejarah telah dibuat sesuai dengan selera kekuasaannya. Peranan Sukarno dalam banyak hal, misalnya tidak terlampau di tonjolkan.

Keenam, pemerintah melemah dan seolah-olah dilemahkan. Reformasi juga ditandai oleh melemah dan dilemahkannya pemerintah. Ada anggapan yang saat ini berlaku umum bahwa pemerintah yang terbaik adalah pemerintahan yang bisa dibuat selemah-lemahnya. Dalam kaitan ini, bahkan berkembang anggapan bahwa segala sesuatu yang datang dari pemerintah pasti salah adanya. Setidaknya anggapan-anggapan semacam ini berkembang begitu tegas selama masa pemerintahan Habibie. Untungnya, selepas Pemilu dan SU MPR 1999, anggapan serupa itu mulai melemah sejalan dengan menguatnya legitimasi pemerintahan baru.

Ketujuh, informasi mengalami pluralisasi. Semenjak pergantian presiden pada 21 Mei 1998, pemerintah telah mengeluarkan sangat banyak surat izin usaha penerbitan pers baru. Jumlah media massa mengalami pembengkakan secara sangat cepat dan dramatis. Reformasi pun ditandai oleh berkembangnya kebebasan pers serta peningkatan lalu lintas informasi. Informasipun mengalami peragaman (pluralisasi). Tidak ada lagi sekarang sumber informasi yang cenderung tunggal dan jenis informasi yang cenderung seragam.

Kecenderungan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat pasca reformasi adalah merupakan satu kenyataan yang paling penting untuk ditengok, dikaji dan di prediksi masa depannya. Negara yang mengalami transisi seperti Indonesia hanya memiliki dua pilihan yang sangat dilematis, yaitu: Pertama, terkonsolidasinya demokrasi dengan merapatnya kelompok-kelompok yang berpikiran reformis. Reformasi sampai saat ini masih berproses untuk meneguhkan dirinya. Reformasi masih harus di dorong hingga tuntutan-tuntutan reformasi dijalankan secara konsisten. Kedua, terjadi penelikungan transisi demokrasi untuk di tutup rapat prosesnya dan di geser kembali ke otoritarianisme. Kehancuran transisi akan terjadi jika elemen-elemen sipil yang memiliki akar pikiran yang demokratis tidak secara serius mengelola transisi ini menjadi lebih demokratis. Apalagi terjadi pertarungan kepentingan yang tanpa akhir, dan konflik antar kekuatan pro demokrasi memperebutkan kekuasaan, akan menambah legitimasi bagi kekuatan anti demokrasi untuk mengambil alih kekuasaan. Pada konteks ini, demokrasi akan gagal diterjemahkan dalam konteks sosial yang nyata, sehingga reformasi yang dikerjakan dengan pengorbanan yang sangat besar satu dekade silam hanyalah menjadi cerita untuk menambah emosi semata.

Reformasi dengan segala variannya, tentu tak mungkin di pisahkan dari proses transisi, sebuah proses yang memiliki akar genealogi yang kuat dengan tradisi yang tak mungkin di hindari begitu saja dalam arus modernisme kultural. Sebagai bagian dari proses politik, reformasi meniscayakan perubahan-perubahan sistemik dalam konteks politik negara, mulai dari perubahan mentalitas aktor politik hingga kultur masyarakat merupakan “khayalan-khayalan” yang harus tetap hidup dalam benak masyarakat, sehingga bersama-sama mendorong “kereta” demokrasi agar lebih terarah dan bertanggungjawab. Kereta demokrasi yang hidup itu adalah merupakan kereta demokrasi yang harus di bangun di atas kehendak arus bawah yang dijalankan secara eksesif bagi pertumbuhan ekonomi, politik dan kultural menuju kesejahteraan sosial.

Reformasi, di tandai dengan; (1). Hancurnya legitimasi kekuasaan negara Orde Baru yang birokratis, bersamaan dengan demitologisasi atas Soeharto yang menakutkan sepanjang sejarah kekuasaannya. Soeharto, yang hampir saja di nobatkan sebagai “nabi” bangsa bagi Indonesia, telah hancur berkeping-keping di atas gumpalan-gumpalan kemarahan massa yang mengamuk terhadap rezim tersebut. (2) ambruknya sistem kekuasaan dengan sistem politik yang “buas”, telah membawa Indonesia pada proses bertabrakannya diskursif. Antara diskursif yang satu bertemu dengan diskursif yang lain, antara wacana yang satu bertabrakan dengan wacana yang lain dalam suasana yang timpang, sehingga muncul kegaduhan diskursif. Kegaduhan itu adalah akibat tersumbatnya saluran politik yang di tutup rapat selama Orde Baru, dan baru menemukan ruangnya di saat-saat reformasi baru mulai. Hampir semua orang bisa berbicara tentang apa saja yang ingin dibicarakanya, bisa mengatakan apa saja yang ingin di katakannya, dan melakukan apa saja yang bisa dilakukanya. Semuanya serba bebas dan serba boleh. (3) karena semuanya di bangun di atas kebebasan, maka di sinilah kita baru menemukan Indonesia yang betul-betul dibangun di atas liberalisasi. Indonesia yang dulunya semasa Orde Baru adalah negara pancasila yang mengalami proses penipuan akibat kokohnya rezim itu menempatkan dirinya di atas segala kepentingan bangsa dan negara, maka reformasi telah merubah itu menjadi sangat bebas. Bebas untuk melakukan langkah eksesif bagi perubahan sosial, bebas untuk mengartikulasikan diri di atas titah demokrasi yang bisa di tafsirkan secara “liar” oleh hampir semua orang, telah membawa Indonesia pada situasi yang serba gamang dan bingung. Produk politik yang hampir saja setiap hari di keluarkan, aturan hukum yang selalu tidak pernah memiliki efek jera, teatrikal kekerasan yang mengatasnamakan demokrasi yang hampir setiap hari di pertontonkan, proses suksesi yang mengalami peningkatan partisipasi dengan adanya Pemilihan Kepala daerah secara langsung adalah bentuk-bentuk dari proses liberalisasi yang berjalan beiringan dengan reformasi. Pada saat yang sama, aset-aset negara banyak di privatisasi, sementara hubungan luar negeri yang pada masa Orde Baru yang dibangun di atas perasaan inferioritas tidak pernah mengalami perubahan. (4) situasi Indonesia pasca Orde Baru yang bernama reformasi ini disebut sebagai proses transisi politik atau transisi demokrasi. Yaitu situasi yang mengandaikan perubahan politik itu terjadi manakala seluruh sistem, mekanisme dan model pengambilan kebijakan di dasarkan atas partisipasi masyarakat sebagai pelaku. Jadi yang berhak menentukkan nasib dan masa depan sebuah bangsa bukan lagi berdasarkan atas kehendak bebas penguasa politik sebagaimana yang terjadi sepanjang kekuasaan Orde Baru, akan tetapi semuanya harus dibangun dengan konsensus bersama antara penguasa dan yang dikuasai. Jika konsensus itu tidak mencapai kesepakatan, maka tidak boleh menjalankan sesuatu. Dan jika konsensus tercapai, akan tetapi di khianati di tengah jalan, maka rakyat berhak merebut kekuasaan itu atau paling tidak mengkritik keberadaan kekuasaan tersebut, karena telah melanggar konsensus.

Karena itu, negara yang sedang mengalami transisi politik harus menciptakan keteraturan sosial, memikirkan konsensus yang memiliki masa depan dan tidak terjebak pada intrik politik yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Pergumulan antara kepentingan kelompok pro demokrasi dengan status quo yang keras akan mengancam proses konsolidasi yang berlangsung jika tidak dibarengi dengan dorongan-dorongan kuat dari kekuatan pro demokrasi. Mereka yang memiliki spirit perubahan dan konsensus politik untuk mendorong proses transisi politik yang berlangsung harus memiliki i’tikad baik agar transisi tidak dipenuhi oleh pertarungan kepentingan yang terlalu bias. Di tengah kegaduhan dan intrik politik yang saling bertabrakan ini, harus di tegakkan hukum untuk mengatur kegaduhan itu supaya tidak terjadi chaos dalam masyarakat. Dalam konteks ini, Plato, Aristoteles, Hegel, Thomas Hobbes, Karl Marx, dan Max Weber menganggap negara sebagai arena untuk menciptakan keteraturan sosial, sekalipun negara juga menjadi alat bagi sekelompok orang untuk melakukan tindakan kekerasan kepada kelompok masyarakat tertentu. Menurut Max Weber, negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya (Gerth dan Mills; 1962: 78; Arif Budiman; 1997: 6). Akan tetapi perlu ditegaskan di sini, karena negara memiliki alat-alat yang bisa digunakan untuk meredam kegaduhan, bukan berarti keteraturan itu diciptakan dengan penindasan.

Sebab itu, negara perlu melakukan pengaturan atas berbagai tindakan yang sporadis dan tiranik dari negara, negara harus tetap aman dari rivalitas fisik dari penguasa dan karenanya, kekuasaan itu tidak bisa diciptakan dengan kekerasan.

Salah satu ciri negara otokratik adalah menciptakan penindasan, melakukan represi atas intrumen demokrasi dan menjalankan kekuasaan secara birokratis yang Max Weber menyebutkan bahwa birokrasi yang rasional itu harus dibangun di atas pertanggung jawaban.

Keberpihakan politik suatu rezim, harus memikirkan tentang preferensi politik masyarakat, dan preferensi politik itu harus dibangun di atas pertanggungjawaban. Birokrasi rasional itu hanya ada dalam negara demokrasi, tanpa itu demokrasi hanyalah sekedar alat represi kekuasaan.

Bagi sebuah negara yang mengalami proses transisi politik, seringkali terjadi benturan kepentingan yang bisa saja membawa perubahan itu pada arah yang determinis. Perubahan yang determinis akan melahirkan sebuah anomali ketika proses itu menuju kearah kemajuan, yang tentu saja akan membuat demokrasi menjadi tidak terdorong ke arah yang lebih baik, akan tetapi akan membawa demokrasi pada titik nadir bahkan akan menuju lonceng kematian.

Hampir semua analis memprediksikan dan mengajukkan beberapa kenyataan-kenyataan penting diberbagai negara betapa demokrasi menjadi korban ketika proses transisi itu berlangsung. Mereka yang dibesarkan di atas suasana yang mapan, pernah hidup dalam sebuah kondisi politik yang tertutup dan menyesakkan dada, tentu akan sangat sulit menerima suasana baru yang serba bebas itu. Kenyataan inilah yang menyebabkan transisi menjadi dilema. Anak kandung rezim politik sebelumnya merasa terancam dengan kehadiran suasana yang baru tersebut, sehingga mereka mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan kenyataan-kenyataan baru itu.

Mereka inilah yang disebut sebagai kekuatan penghalang demokrasi atau disebut sebagai kekuatan status quo yang selalu menghambat laju pertumbuhan demokrasi. Anak-anak rezim yang di didik di bawah suasana dan kondisi yang patuh, tentu saja akan protes pada kenyataan-kenyataan yang ada. Sebab itulah, demokrasi menjadi penting untuk di dorong bukan oleh kelas yang mapan dan status quo, akan tetapi harus oleh kekuatan oposisi murni yang tidak pernah menginginkan imbalan material dan tidak mengharapkan berbagai konsesi dari tindakannya, kecuali untuk mendorong demokrasi agar lebih baik.

Orde Baru harus diakui telah mampu mensistematiskan perangkat-perangkat politik yang determinan atas semua pilihan politik rasional dari rakyat yang menyebabkan seluruh komunitas rakyat dari berbagai latar belakang merasa bahwa negara adalah merupakan penyelamat mereka. Menentang negara adalah tabu bagi mereka, karena negara telah di anggap sebagai sebuah entitas raksasa yang mampu menjawab persoalan-persoalan mereka dan melindungi serta mengamankan situasi sosial. Negara dipandang sebagai pusat dari sirkulasi kebenaran yang tak pernah cacat sehingga diskursif apa saja yang ‘muncrat’ dari ‘tenggorokan’ negara tidak pernah dianggap sebagai sebuah kesalahan. Inilah yang melahirkan kultus atas negara yang berlebihan, sehingga membutakan mata hati untuk tidak pernah melihat ‘sisi lain’ dari negara. Korupsi, kolusi, manipulasi, pengkhianatan, penindasan dan kekerasan yang dilakukan oleh negara meskipun berulang-ulang, tidak dianggap sebagai kejahatan dan kesalahan, karena negara bagi mereka sudah ditempatkan menjadi mitos.

Akan tetapi ada yang ‘aneh’ dari negara pasca Orde Baru. Jika pada masa Orde Baru negara memiliki mitologi tersendiri dalam ‘lembaran cerita sosial’, maka negara pasca Orde Baru adalah negara yang justru mengalami demitologisasi atas seluruh mitologi itu. Tiba-tiba saja negara tidak mampu mengendalikan gugatan komunitas yang selama ini percaya kepadanya. Pada akhirnya, negara dan transisi demokrasi yang menyertainya menjadi sebuah huru hara yang menakutkan. Negara tidak bisa mengendalikan emosi, kutukan dan ‘celoteh sosial’ yang muncul bersamaan dengan desakan kuat untuk menegakkan demokratisasi.

Apa yang menyebabkan negara demikian tidak berdaya menghadapi masyarakatnya?. Atau dengan kata lain, negara sudah tidak punya legitimasi sosial untuk mengajak masyarakat agar selalu patuh pada kuasa politiknya. Menurut Aprinus Salam (2006; 4-5) ada beberapa hal yang menyebabkan negara tidak mampu memainkan peranan penting dalam mengatur, menertibkan, dan mendisiplinkan masyarakat. Pertama, negara (dan dalam hal ini khususnya pemerintah yang diberi mandat) berdiri dalam satu krisis sejarah politik pasca Orde Baru yang digugat, sehingga ada ketakutan-ketakutan dan ketidakpercayaan diri, agar tidak megulangi kesalahan yang sama. Konsep negara seperti yang diteorikan oleh Weber, yakni satu institusi yang berhasil memiliki monopoli hukum untuk menggunakan kekerasan fisik di suatu wilayah tertentu, dan menjadi praktik bernegara di Indonesia pada masa Orde baru telah mengalami berbagai perubahan.

Tak dapat di sangkal lagi oleh siapapun, bahwa kuasa negara mengalami reduksi yang cukup serius semenjak Soeharto tersingkir dari panggung kekuasaan. Tentu saja reduksi kuasa negara itu tidak salah jika mengingat kembali artikulasi politik Soeharto yang demikian gigantis dan sekaligus penuh dengan pesona kekerasan dan dominasi.

Sejarah tidak mungkin digulung kembali seperti benang, akan tetapi yang bisa dilakukan adalah membersihkan ingatan atas apa yang menjadi kenyataan masa lalu, dikala Orde Baru hidup. Di sana kita bisa menemukan secara konprehensif bahwa negara yang kita maksud memiliki basis material dan otoritas sah untuk melakukan kekerasan, entah dengan alasan yang tidak masuk akal sekalipun. Sukses Orde Baru adalah sukses dominasi politik dan kemampuan manajemen politik Soeharto yang menelikung seluruh oposisi untuk di singkirkan dari hiruk-pikuk politik Indonesia, sehingga mereka tidak mampu berbuat lebih banyak dan bebas untuk mengontrol kekuasaan. Di samping itu adalah reproduksi diskursif yang dilakukan berulang-ulang telah mendorong Orde Baru menjadi kekuatan politik dominatif dan sekaligus sebagai negara otoriter terpanjang di Asia.

Selama Orde Baru berkuasa, hampir tidak pernah ada yang mendiskusikannya, karena rezim ini adalah sempurna di bawah kendali kepemimpinan personal. Akan tetapi dikala keretakan rezim itu muncul, maka hiruk-pikuk dan diskusi menjadi gosip yang selalu dibicarakan, hingga kejatuhannya. Fase Indonesia pasca Soeharto yang dikenal dengan fase transisi demokrasi, sebuah fase yang mengajukan gugatan-gugatan serius atas legitimasi personal masa lalu. Fase transisi ini harus diakui, masih mewariskan sejumlah dosa masa lalu yang tidak mungkin terelakkan. Berulang kali penulis mengatakan, kita bisa menghancurkan Soeharto beserta seluruh keluarganya dari panggung kekuasaan hingga tidak satupun tersisa, akan tetapi Soehartoisme tetap akan hidup bersamaan dengan upaya penghancuran itu. Soeharto sudah bukan sekedar pemimpin personal, akan tetapi Soeharto telah berubah menjadi sebuah ideologi yang tidak mudah untuk dihadapi.

Kisah menarik yang dilakukan oleh Hartono ketika kampanye Pemilu tahun 2004 yang mengajak masyarakat Indonesia untuk menjadi antek-antek Soeharto adalah merupakan pertanda betapa kukuhnya legitimasi Soehartoisme itu menancap dan hidup di dalam tubuh sebagian kader Soeharto. “… Marilah jadi antek Soeharto.” Demikianlah ajakan Hartono, Ketua Umum DPP Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), dalam beberapa kesempatan di kampanye pemilu legislatif yang lalu kepada masa pemilihnya. Ajakan yang terus menerus diulangnya dan kemudian menjadi simbol bagi partai politik yang dalam pemilu legilstaif lalu akhirnya mendapatkan 2,399,290 suara sah (2,11%) dan mendapatkan 2 kursi di DPR RI. Suatu prestasi yang tentu saja tidak terlalu mengecewakan untuk sebuah partai politik baru.

Fenomena Hartono adalah merupakan indikasi kuat bahwa Soehartoisme itu masih segar dalam tubuh sebagian aparatus ideologisnya di tengah arus transisi yang sedang berjalan. Soehartoisme menjadi sebuah keyakinan yang tak mungkin terhindarkan. Bukti kesuksesan itu bisa dilihat bahwa dengan ajakan itu Hartono masih bisa mendapatkan kursi di parlemen sekalipun cuma hanya dua. Ini menandakan bahwa masih banyak antek-antek Soeharto yang siap untuk menjadi penerus kekuasaannya yang sebenarnya tidak di sadari oleh kebanyakan elemen gerakan sosial dan kekuatan pro demokrasi di Indonesia.

Tesis itu juga tidak salah jika melihat jumlah suara di Partai Golkar, yang dulu merupakan mesin politik bagi kekuasaan Soeharto. Jika mengingat Partai Golkar, tentu saja tidak mungkin dipisahkan dari Soeharto, karena partai ini menjadi alat untuk mendorong secara terus-menerus dominasi politik yang dijalankan oleh Soeharto. Golkar dulu, yang berubah menjadi partai Golkar, bagi sebagian besar orang tidak ada yang mengalami perubahan signifikan, kecuali hanya perubahan slogan. Ketika orang meneriakkan demokrasi, Partai Golkar juga ikut meneriakkan demokrasi, ketika orang berbicara tentang kebebasan, partai inipun ikut berbicara tentang kebebasan.

Penulis masih sangat yakin, bahwa Soeharto mampu mendidik kader-kader politik ideologis, sistem politik ideologis, nalar politik kepatuhan dan partai yang pintar memainkan tipuan-tipuan kebenaran. Kita bisa membuktikan kasus yang menimpa Akbar Tanjung yang menjadi mantan terpidana kasus korupsi dana non bujeter BULOG. ia adalah kader Golkar dan kader Orde Baru yang sukses memimpin partainya di tengah hantaman dan hujatan berjuta-juta orang di negeri ini. Manajemen konflik dan kesabarannya telah membuat partai Golkar eksis dengan keadaannya. Tidak ada yang menduga kemudian akhirnya Golkar muncul sebagai partai pemenang dalam Pemilu legislatif 5 April 2004 yang lalu. Dengan mengumpulkan 24,480,757 suara (21,58%) dan mendapat 128 dari 550 total kursi di DPR, Golkar melaju melampau partai-partai politik yang lain (Sukmajati: 2004). Jika saja ingatan masa lalu tidak lagi menjadi penting bagi masyarakat Indonesia, maka apa yang kemudian ditakutkan oleh sebagian besar komponen bangsa ini, bahwa masyarakat kita sedang mengidap penyakit amnesia adalah tak terhindarkan. Bagi saya, fenomena Indonesia yang seperti ini adalah merupakan kenyataan yang tak terhindarkan, bahwa betapa masa lalu tidak penting sama sekali atau bahkan bagi mereka bahwa masa lalu Golkar adalah baik. Hanya ada dua kemungkinan dalam konteks ini. Kemungkinan pertama adalah bahwa masyarakat kita mengidap penyakit lupa sebagaimana yang penulis katakan di atas. Segala kesalahan dan kejahatan masa lalu adalah benar sesungguhnya bagi mereka, akan tetapi mereka cepat melupakannya, atau memaafkan dosa dan kesalahan itu, sehingga pilihan mereka atas Golkar adalah akibat dari penyakit amnesia yang melanda mereka. Atau justru anggapan kedua, yakni bahwa Golkar masa lalu bagi masyarakat kita justru telah membawa perubahan-perubahan penting bagi mereka. Memilih Golkar adalah pilihan sadar, pilihan Golkar adalah pilihan terbaik karena telah memberikan keamanan dan ketentraman bagi mereka. Jika pilihan ini yang digunakan, maka betul Soeharto sukses menjadi pemimpin ideologis, betul Golkar telah menanamkan tipuan-tipuan kebenaran kepada masyarakat, juga benar bahwa Orde Baru tidak salah dimata rakyat.

Kondisi ini tentu saja tidak mudah untuk diubah dengan cepat, karena harus membongkar tirani wacana, mengaduk-aduk sebuah keyakinan yang akan menghambat proses transisi demokrasi. Transisi hanya akan menjadi humor, bahan tertawaan dan hanya menghabiskan energi jika perasaan, pikiran dan keyakinan itu tidak mampu direduksi.

Kita harus akui, bahwa memang sejumlah tokoh kunci dan penting pada pemerintahan pasca Orde Baru masih merupakan bagian panjang dari tradisi politik yang diwariskan oleh pemerintahan Orde Baru. Mereka adalah kelompok elit yang bersikap pura-pura sebagai kelompok demokrasi yang kemudian merubah citra dirinya ketika kondisi politik mengalami perubahan. Mereka berteriak lantang untuk menegakkan demokrasi, akan tetapi tingkah lakunya tidak mengalami perubahan. Inilah yang disebut sebagai aktor politik ’diaspora’, yakni mereka yang meneriakkan demokrasi dan mengajukkan gugatan atas sistem politik otoritarian, padahal yang menciptakan sistem yang otoritarian itu adalah mereka. Perilaku yang di tunjukkan ke ruang publik adalah sama dengan mereka yang telah mati-matian memperjuangkan demokrasi, tetapi watak dasar sebagai antek Orde Baru seperti Birokratis Otoriter, Korupsi dan manipulasi tidak bisa dilupakan.

Sadar atau tidak, pemerintahan transisi adalah pemerintahan yang penuh dilema dalam mengambil pilihan-pilihan politik. Dilema itu menjadi pintalan yang sulit untuk di pilah satu-persatu, karena jika pilihan itu keliru dan salah kaprah, maka protes dan kutukan akan tetap terjadi. Mesin kekuasaan sekuat apapun dan sehebat bagaimanapun aktor yang memimpin sebuah transisi, tentu akan berhadapan dengan situasi politik yang dilematis, yang bisa saja membuat seseorang untuk mengambil keputusan yang tidak dikehendaki oleh masyarakat. Kegagapan negara dalam menjalankan roda kekuasaan itu di tunjukkan oleh negara pasca Orde Baru. Di satu sisi tergantung pada negara-negara ekonomi liberal, sedangkan pada sisi lain tidak bisa menjelaskan ke arah mana kondisi politik itu di arahkan. Pada akhirnya, artikulasi politik rakyat adalah menuntut perubahan untuk mendapatkan kesejahteraan bagi mereka.

Karena itu, negara Indonesia pasca Orde Baru mengalami kegagapan dalam memilih cara dan gaya mengelola kekuasaan sehingga karena kegagapan tersebut otoritas, kapasitas, dan kompetensi negara menjadi sangat berkurang. Akibatnya, masyarakat tidak taat dan takut lagi kepada negara, sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru. Kita bisa melihat, bahwa segala aturan yang dibuat oleh negara seringkali berhadap-hadapan dengan masyarakat. Inilah yang disebut dengan negara yang mengalami kehilangan legitimasi sosial. Apa yang terjadi pada negara yang mengalami kehilangan legitimasi sosial, tidak lain adalah berupaya untuk melakukan kompromi-kompromi politik yang menyebabkan pemerintah yang diberi mandat tidak mampu mengambil kebijakan-kebijakan yang tegas dan berwibawa, atau kebijakan yang diambil tidak begitu berpengaruh pada tingkat operasional. Pemerintah yang diberi mandat dikondisikan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan insidental dan darurat, sehingga tidak terbantu untuk berpikir panjang dalam membangun negara yang kuat. Di samping itu, rendahnya integritas dan kualitas SDM yang berposisi sebagai aparatus negara, seperti kepolisian, kejaksaan dan peradilan, aparat pendidikan, ataupun instrumen politik lainnya, merupakan masalah krusial yang hingga hari ini masih menjadi salah satu problem utama negeri ini.

Karena itu, kecenderungan politik yang biasa terjadi adalah politik jalan pintas dan cari aman, tanpa didasari dengan pikiran yang matang. Politik jalan pintas inilah yang menyebabkan transisi demokrasi mengalami persoalan serius, karena sulit untuk menemukan aktor yang bisa dipercaya pada tingkat decision.

Negara Transisi dan Anomali Demokrasi

Pertumbuhan dan perkembangan politik negara Indonesia sebagaimana dalam pembahasan di atas, tentu saja adalah merupakan satu perspektif yang mungkin saja akan di gugat oleh kelompok lain yang mampu menemukan sisi lain tentang Indonesia. Konstruksi tentang negara sebenarnya tidak bisa dilihat pada sisi politik semata, akan tetapi yang tidak kalah pentingnya juga adalah sisi ekonomi dan budaya yang cenderung di abaikan oleh banyak kalangan, dan mungkin juga tidak terlalu banyak disinggung dalam buku ini. Keberhasilan sebuah transisi demokrasi pada negara-negara yang pernah mengalami kondisi politik yang otoriter adalah sangat tergantung pada keadaan ekonomi negara yang bersangkutan.

Jatuh bangunnya sebuah negara yang hendak menegakkan demokrasi ternyata lebih banyak di pengaruhi oleh faktor krisis ekonomi dibandingkan dengan faktor lain. Hancurnya kondisi ekonomi yang bersamaan dengan melemahnya legitimasi negara otoriter adalah merupakan sebuah kenyataan yang tak terhindarkan untuk melihat bahwa betapa negara otoriter itu sulit ditembus basis kekuasaannya. Apa yang terjadi di Filipina, Taiwan, Korea dan Indonesia pada tahun 1998 adalah merupakan ‘drama’ krisis ekonomi yang menyakitkan. Di saat itu pula, legitimasi kekuasaan Soeharto mengalami krisis. Tentu saja kita bisa memberikan pandangan bahwa krisis ekonomi yang berbarengan dengan delegitimasi kekuasaan Soeharto itu adalah merupakan pertunjukkan yang tidak bagus, akan tetapi kenyataan politik telah memperlihatkan bahwa kondisi ini adalah sebuah kenyataan yang harus diterima.

Linz dan Stepan mencoba menjelaskan kejatuhan dan kebangkitan kembali demokrasi tidak dengan menelaah variabel-variabel konflik kelas atau kendala ekonomi, tetapi dengan mencurahkan perhatian pada perilaku elit atau kepemimpinan mereka. Walaupun keduanya tidak mengatakan bahwa kendala struktural tidak penting. Mereka yakin bahwa kalau terdapat lingkungan struktural yang sangat tidak menguntungkan bagi demokratisasi, seringkali itu terjadi sebagian karena ketidakmampuan para politisi untuk menghasilkan reformasi ekonomi dan inovasi pelembagaan yang diperlukan bagi tumbuhnya demokrasi. Diamond, Linz, Lipset, O’Donnell, Schmitter dan beberapa ilmuwan lain yang menekankan variabel perilaku elit itu juga sepakat untuk mengikuti jalan yang dirintis oleh Dahl, yang yakin bahwa gradualisme, moderasi dan kompromi adalah kunci menuju keberhasilan transisi ke arah demokrasi. Ini dianggap tindakan politik yang bijaksana untuk mendemokratiskan kembali pemerintahan yang otoriter.

Mendemokratiskan kembali kekuasaan yang otoriter bukanlah persoalan yang mudah untuk ditembus, apalagi perangkat lunak sebagaimana yang dikatakan Oleh Eep Saifullah Fatah seperti yang penulis kutip pada bab lain di buku ini tidak terpenuhi. Perangkat keras terpenuhi dengan kehadiran lembaga pendukung demokrasi yang begitu banyak dengan alokasi akuntabilitas yang mungkin secara universal bisa dikategorikan baik, akan tetapi kesiapan mental masyarakat dan elit yang telah lama terbiasa dengan kultur politik birokratis cenderung menghalangi laju pertumbuhan demokrasi.

Pelembagaan demokrasi adalah penting sebagai instrumen untuk menilai baik atau tidaknya proses politik yang sedang dilewati. Akan tetapi jika berhenti pada pelembagaan institusi saja, maka kita akan terjebak pada wilayah demokrasi posedural dan pemenuhan-pemenuhan atas tuntutan material demokrasi. Sekalipun demokrasi prosedural dan segala tuntutan materialnya adalah penting untuk mengevaluasi jalan terjal demokrasi yang dilewati, akan tetapi yang lebih penting adalah mendorong aparatus politik negara untuk menyadari posisinya sebagai penguasa.

Dalam konteks ketidakjelasan kemana demokrasi itu melaju, maka tetap diperlukan kontrol politik dari kekuatan oposisi, agar tidak terjadi penelikungan atas transisi yang berputar. Menurut Hendardi (2002; 28) dalam paham negara demokratis modern, kontrol rakyat terhadap penyelenggara negara merupakan terjemahan yang sempurna dari asas kedaulatan rakyat. Pada awalnya kontrol rakyat terhadap penyelenggara negara “diejawantahkan” di dalam model demokrasi representatif semata. Namun dalam perkembangannya demokrasi repesentatif dapat terjerumus ke dalam pemerintahan elitarisme, di mana keputusan-keputusan penting hanya diambil oleh segelintir orang saja. Oleh karenanya, sangat rawan terhadap praktek-praktek penyelewengan kekuasaan.

Karena itu, proses reformasi yang bergulir dan dipelopori oleh gerakan mahasiwa baru hanya berhasil menjatuhkan rezim otoritarian Orde Baru. Transformasi nilai-nilai baru sebagai akar dari suatu proses perubahan fundamental menuju negara demokratis justru tidak sepenuhnya terjadi. Apa yang sesungguhnya terjadi di tahun 1998, tuntutan reformasi telah berhasil dibelokkan oleh kekuatan status quo yang seolah-olah hanya menjadi soal pergantian penguasa politik belaka. Terbukti kemudian, penyelewengan kekuasaan yang tampaknya di era reformasi tidak kalah dahsyatnya dengan apa yang terjadi di jaman Orde Baru. Kasus Bank Bali dan dan non-budgeter Bulog yang melibatkan ketua Golkar Akbar Tanjung ditengah-tengah euforia reformasi (Hendardi: 2002; 28).

Reformasi hanyalah merupakan kondisi yang terdesak untuk dilakukan dan sifatnya sangat gradual. Terdesak, karena harus segera mengakhiri kekuasaan otoriter Soeharto dengan memaksa dia turun dari kekuasaan, sedangkan gradual, karena memang reformasi itu hanyalah perubahan tambal sulam, perlahan-lahan. Ini berbeda dengan revolusi yang perubahannya sangat dahsyat yang memang tentu saja akan banyak melahirkan korban jiwa tetapi dengan keyakinan akan melahirkan perubahan yang totalitas.

Kondisi inilah yang menyebabkan transisi ini mengalami anomali, penuh dengan pilihan-pilihan yang mungkin saja sulit untuk dipahami. Tarikan-tarikan kekuasaan dan desakan kepentingan telah menyebabkan transisi menjadi bergerak kearah suatu pertanyaan besar, yaitu ”kemungkinan”. Mungkinkah transisi dilalui dengan model-model demokrasi yang diajukkan, bisakah transisi dilewati dengan liberalisasi aset-aset negara, mampukah negara melewati transisi dengan melibatkan aktor-aktor penguasa tertentu yang berselingkuh dengan kekuatan kapitalisme global. Semuanya adalah pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk disebut sebagai pertanyaan sebenarnya, akan tetapi boleh jadi adalah suatu gugatan atas tesis-tesis mengenai masa depan politik Indonesia yang masih dalam keadaan gamang dan dalam bahasa penulis anomali. Anomali itu adalah situasi yang serba mungkin dan serba tidak mungkin, yang harus di dorong secara terus-menerus sehingga transisi demokrasi dengan harapan-harapan yang menyertainya menjadi tercipta dan terkonsolidasi.

Dalam konteks ini, Hendardi (2002; 28) berpendapat bahwa dalam masa transisi politik, keberhasilan demokratisasi yang ditandai dengan adanya proses kenegaraan yang transparan dan accountable, sangat bergantung dengan kegiatan partai politik. Karena partai politik merupakan organ terpenting dalam proses pembentukan masyarakat sipil yang demokratis. Oleh karena itu, moral politik dalam kehidupan bernegara harus menjadi perhatian besar bagi para partai politik. Dengan demikian partai politik bertanggung-jawab atas kepercayaan masyarakat terhadap terciptanya clean governance. Di sini rakyat harus merupakan bagian integral dari proses kontrol terhadap penyelenggara negara.

Tetapi apakah partai politik itu masih layak untuk menjadi pendorong demokrasi?. Secara sekilas dan dengan menggunakan premis umum, partai politik adalah merupakan pendorong demokrasi. Salah saru pilar negara demokrasi adalah partai politik. Karena di dalam partai politik itu menurut Sutoro Eko (2004; 53) pasti menjanjikan demokrasi, keadilan, kesejahteraan, keamanan, kedamaian, dan persatuan bagi semua elemen masyarakat Indonesia, yang tentu saja sebagai bentuk ekspresi dari pemerintahan yang berkuasa selama ini tidak tunduk pada prinsip-prinsip yang baik itu.

Fungsi-fungsi penting dari partai politik seperti sebagai sarana pendidikan dan agregasi hampir tidak berjalan sama sekali. Sehingga harapan bahwa partai sebagai kekuatan politik untuk mendorong demokrasi adalah mesti ditinjau ulang. Sekalipun secara teoritik dan praktik bisa kita temukan bahwa partai politik adalah faktor yang sangat penting bagi tumbuh berkembangnya sebuah negara demokrasi, tetapi khusus konteks Indonesia harapan itu barangkali sulit untuk diwujudkan, karena yang muncul adalah apa yang kita kenal dengan oligarki partai. Partai-partai politik yang ada hanyalah menambah kukuhnya dominasi penguasa atas rakyat yang menyebabkan kepentingan rakyat teralienasi dari perjuangan partai. Filosofi bahwa partai politik akan memperjuangkan kepentingan rakyat, di Indonesia justru tidak terwujud sama sekali.

Partai politik yang diharapkan untuk menyokong terwujudnya perangkat lunak demokrasi, membangun kesadaran masyarakat agar memahami demokrasi secara lebih konsepsional, artikulatif dan lebih bermakna, ternyata gagal menjalankan tugas-tugasnya, sehingga perjuangan untuk mewujudkan demokrasi dengan mengharapkan terlalu besar keterlibatan partai politik adalah berlebihan. Sebab yang terjadi di dalam tubuh partai politik adalah memperjuangkan kelompok mereka sendiri, hingga menjarah harta rakyat sekalipun.

Partai politik dipercaya sebagai instrumen utama demokrasi, akan tetapi satu hal yang paradoks yang tidak mungkin dihindari adalah terjadinya apa yang disebut Robert Michel sebagai “hukum besi oligarki”. Yakni kecenderungan dominasi (penguasaan) sekelompok kecil orang (minoritas) yang tidak mewakili kepentingan mayoritas rakyat. Sebuah hukum sosiologi paling fundamental dan sekaligus paradoksal adalah bahwa organisasi (baik partai maupun negara) adalah sebuah entitas yang melahirkan dominasi oleh minoritas terpilih atas pemilih, oleh pemegang mandat atas pemberi mandat, oleh utusan atas orang yang mengutus. Barang siapa orang bicara organisasi, demikian Robert Michel, ia juga bicara tentang oligarki (Sutoro Eko: 2004; 55).

Di tengah situasi politik yang gamang dan tidak terarah, negara bersama semua aparatusnya tidak boleh berdiam diri. Kelompok oposisi dalam negara juga harus bekerja secara cepat untuk menghindari terjadinya pelacuran keadaan yang tengah terjadi untuk menunjang proses demokrasi yang berjalan. Sebab itu, negara harus bekerja menurut hukum besi keadaan, yakni cepat mengendalikan proses diskursif yang terjadi di saat persilangan berbagai kepentingan bertemu dalam titik yang berseberangan. Di sinilah kita tetap memandang negara sebagai instrumen penting untuk menetralisir keadaan dengan alat-alat yang dimilikinya. Hampir sebagian pemikir yang menulis tentang negara menekankan betapa besarnya peranan negara dan betapa absahnya lembaga ini melakukan tindakan atas warganya. Dalam hal ini Hobbes menegaskan, bahwa kekuasaan negara begitu penting, kalau tidak, para warga akan saling berkelahi dalam memperjuangkan kepentingan mereka (Budiman; 1997: 7). Dalam konteks ini Budiman mengajukan hipotesa, bahwa negara merupakan wakil dari kepentingan umum atau publik, sedangkan masyarakat hanya mewakili kepentingan pribadi atau kelompok secara terpecah-pecah (Budiman; 1997: 7). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Plato dan Aristoteles yang mengatakan, bahwa kekuasaan yang besar pada negara merupakan hal yang sepatutnya. Individu akan menjadi liar, tak dapat dikendalikan, bila negara tidak memiliki kekuasaan yang besar. Negara harus menjinakkan mereka dan mengajarkan nilai-nilai moral yang rasional (Budiman; 1997: 8). Tegasnya Plato memberikan kerangka berpikirnya sendiri;

Dalam negara tersebut akan berkuasa akal (rasio) sebagai ganti Tuhan. Segala keinginan untuk mementingkan diri sendirti harus dihilangkan dahulu bilamana kehidupan negara yang sungguh-sungguh sempurna akan dicapai. Individu harus sama sekali tunduk pada keseluruhan (kolektitet) (Schmid; 1965: 26, Budiman; 1997: 8).

Untuk menghindari terjadinya personalitas pada pemegangan kekuasaan negara, maka tawaran yang diajukan oleh hampir semua orang untuk konteks transisi adalah tetap terciptanya kontrol sosial yang seimbang dalam masyarakat. Bagi penulis, tradisi kekuasaan yang personal justru akan bersikukuh pada kontekstualisasi negara yang birokratis, sehingga rakyat akan kesulitan untuk menerjemahkan entah kemana proses politik itu di arahkan, sehingga rakayasa sosial atas negara yang sedang berubah akan kesulitan. Persoalan ini dipertegas kembali oleh Hendardi (2002; 28) bahwa, kontrol rakyat terhadap penyelenggara negara harus dapat bersifat langsung dan nyata. Kontrol rakyat terhadap penguasa hanya dapat berjalan efektif bila penyelenggara negara tidak dapat memaparkan program dan kebijakannya secara transparan, dengan demikian rakyat dapat secara nyata menuntut pertanggungjawaban atau akuntabilitas publik terhadap penyelenggara negara, misalnya melalui pemberitaan pers yang bebas dan pembentukan opini publik. Penyelenggara negara tidak dapat mengelak dari tuntutan transparansi dan akuntabilitas publik.

Jika partai politik telah gagal mengagregasi kepentingan rakyat, tidak ada partai oposisi yang terbentuk serta yang muncul adalah oligarki partai, sementara negara sendiri tidak bisa diharapkan untuk merekayasa masa depan demokrasi Indonesia, maka harapan kemudian harus bertumpu pada kekuatan basis sosial dalam masyarakat, dimana di dalamnya harus tercipta basis politik yang bisa diandalkan untuk mendorong demokrasi yang partisipatif dengan tetap menghargai kepentingan lokal.

Transisi itu penting untuk di desak secara terus-menerus agar tercipta kondisi politik yang benar-benar demokratis sehingga kekuasaan negara tidak bersifat mutlak sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru. Orde Baru itu langgeng dan aman adalah karena ruang-ruang diskusi ditutup rapat, akselerasi publik atas negara dibatasi, sehingga negara merasa menang diatas rakyat dengan mengalienasi peran-peran politik mereka.

Kita harus menghidari apa yang dikatakan oleh Plato dan Aristoteles yang melihat teori kekuasaan negara dengan menyatakan bahwa negara memerlukan kekuasaan yang mutlak. Karena model itu telah gagal melahirkan negara yang sejahtera dan berkeadaban, sebagaimana ditunjukan oleh Orde Baru. Negara Orde Baru adalah negara yang gagal mengkonstruksikan perubahan sosial karena pada konteks ini negara gagal melahirkan rekayasa sosial yang bersifat terbuka bagi terciptanya demokrasi bagi rakyat. Akibatnya, demokrasi terkubur ditengah retorika kekuasaan yang justru mempertunjukkan sikap represivitas atas rakyat. Rakyat dipandang sebagai kelas yang inferior atas kekuatan politik negara, karena peran negara dominan, sementara rakyat minimal. Rakyat adalah konsumen dari reproduksi kuasa wacana dari negara, yang terkadang kuasa wacana itu dibangun diatas kepalsuan-kepalsuan ideologi dan politik.

Kecenderungan memandang negara sebagai basis perubahan sosial serta sebagai alat untuk mendorong demokrasi tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi jika saja optimisme itu berlebihan sehingga menyebabkan kita lupa akan esensi negara yang sesungguhnya, yaitu mengokohkan kekuasaan sehingga bisa menimbulkan tirani atas rakyat.

Kukuhnya dominasi negara atas rakyat serta suksesnya relasi kuasa wacana dalam tubuh negara otoriter birokratis adalah karena semua elemen pendukungnya bekerja secara massinis yang kemudian mendorong negara lebih mandiri dan tidak terkooptatif oleh elemen-elemen lain dari luar. Artinya negara sangat percaya diri atas bekerjanya seluruh sistem yang sangat prosedural dan birokratis itu, serta dukungan institusi-institusi represif seperti militer, sehingga ketika terjadi ‘kecelakaan’ politik yang menyebabkan kekukuhan negara itu berantakan, maka transformasi menjadi sulit tercipta.

Di saat yang seperti inilah perubahan sosial itu mengalami hambatan untuk bekerja secara maksimal dalam mendorong demokrasi. Desakan demokrasi yang kemudian digelar oleh semua elemen kebangsaan akan sulit untuk menyesuaikan diri di atas problem-problem politik dan konstitusional yang dialami. Sehingga transisi demokrasi harus melewati jalan terjal dan menghalau ‘hutan belantara’ dengan ‘duri epistemik’ rezim masa lalu. Pada sisi ini, demokrasi akan di tunggu oleh dua kemungkinan, yaitu suksesnya transisi itu dengan terbentuknya perangkat demokrasi, baik secara prosedural maupun secara kultural, dan kemungkinan kedua, yaitu terjebak kembalinya demokrasi kedalam perangkap politik birokratis. Keterjebakan ini ditandai dengan sistem politik yang tidak berubah, sekalipun beberapa aktor mengalami pergantian, serta kultur yang tidak bergeser dari kondisi sebelumnya. Jika demikian yang terjadi sudah bisa dipastikan, bahwa transisi demokrasi tidak terbentuk dan gagal.

Jadi, apa sumbangan negara dalam konteks ini, padahal penguasa atau elit pemegang kendali adalah aparatus negara sebagaimana yang disebutkan oleh Althusser?. Tentu mendedah konsep kenegaraan ini, penulis ingin mengajukan apa yang disebut dengan negara organis. Apa yang dimaksud dengan negara organis?. Stepan mengemukan lima prinsip dasar negara organis-statis (Alfred Stepan, 1978: 26-45) yaitu; pertama, negara pada dasarnya mempunyai tujuan utama adalah moral; kedua, tujuan moral itu merupakan kebaikan bersama (common good) yang diarahkan dan diwujudkan kedalam komunitas politik (political community); ketiga, common good merupakan prinsip yang berbeda dalam mengontrol setiap kepentingan yang ada; keempat, negara memiliki sifat yang kuat dan intervensionis, negara mempunyai peran yang relatif otonom dalam proses-proses politik; dan kelima, walaupun negara merupakan yang utama dalam komunitas politik, tetapi komponen dari negara seperti individu, keluarga, asosiasi-asosiasi pribadi, mempunyai fungsi sendiri di dalam organisasi secara keseluruhan. Akan tetapi, selain negara organis ini, ada juga yang disebut dengan negara fasis sebagaimana yang dikatakan oleh Budiman (1997:18-19). Menurut Budiman, Sekalipun negara organis seperti yang digagas oleh Hegel masih terdapat nilai-nilai positifnya, tapi bagian lain dari bentuk ekstrem negara organis adalah negara fasis. Kata fasis berasal dari bahasa Latin yang berarti “seikat”. Kata fasisme dimaksudkan sebagai sebuah ikatan yang kuat, ikatan yang erat, persatuan yang kokoh dari sebuah bangsa, dengan negara sebagai pimpinannya. Negara Fasis adalah sebuah negara totaliter, bukan sekadar otoriter. Kalau dalam totaliter masih memungkinkan pluralisme terbatas, dalam sebuah negara totaliter, tidak diperkenankan organisasi lain apapun tumbuh, kecuali organisasi yang di bentuk negara. Tidak boleh ada nilai yang berkembang kecuali yang diperkenankan negara. Untuk memperkuat realisasi gagasan ini Benito Mussolini seperti dikutip Christenson et al, (1971: 37) mengatakan, konsep negara dalam fasisme adalah bahwa negara itu meliputi keseluruhan; di luar negara tidak ada kemanusiaan atau kejiwaan yang bisa tumbuh, apalagi punya nilai. Dengan demikian, Fasisme bersifat totaliter, dan Negara Fasis – sebuah sintesis dan sebuah lembaga yang menggabungkan semua nilai – memberikan penafsiran, mengembangkan dan memberikan tenaga bagi seluruh kehidupan seorang manusia.

Artinya, negara totaliter dan otoriter tidak akan mungkin membiarkan demokrasi hidup, sehingga peluang-peluang kemungkinan untuk tumbuh berkembangnya demokrasi akan selalu dihadang dengan pilihan-pilihan politik birokratis. Karena dalam konteks ini negara harus dominan mengartikulasikan kepentingan-kepentingan politiknya. Bagi seorang penguasa di negara totaliter seperti Musolini, mengukuhkan dominasi negara adalah penting, sehingga demokrasi dialienasi dari persinggungan diskursif negara. Negara harus mengendalikan seluruh apa yang menjadi basis epistemik rakyat, sehingga pengendalian diskursif menjadi sangat urgen bagi pengembangan wacana dominasi dari negara.

Merujuk kembali pandangan Mussolini, maka bisa di sederhanakan, bahwa negara harus kuat, dengan kekuatan itu negara dapat memberikan kebaikan kepada warganya, negara pun harus menegakkan disiplin. Dalam konsep negara fasis, bahwa rakyat harus bersedia berkurban dan patuh. “Negara menekankan haknya untuk membangun kembali masyarakat – ‘membentuk’ manusia dan memperingatkan akibat yang buruk bagi mereka yang mau membangkang” (Christenson et al; 1971: 70). Negara memiliki otoritas yang besar untuk membangun, menyejahterakan rakyat, mengarahkan perubahan dan sebagainya, tidak pihak lain dalam negara yang berhak untuk menerapkan prinsip, nilai dan kebebasan. Christenson menegaskan; “Pendeknya, Negara menguasai semuanya – politik, ekonomi, dan moral”. Karena itu, semboyan kaum Fasis adalah “Percaya! Patuh! Berjuang! (Budiman; 1997: 20). Dalam merealisasikan konsep kenegaraan yang dipahaminya, negara Fasis merasa merekalah yang tahu apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, bangsa dan negara, bentuk negara ini menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, negara Fasis mengajak masyarakat untuk percaya dan patuh kepada apa yang diperbuat oleh negara. Bentuk-bentuk lain yang mengikuti varian negara modern di lakukan pula dalam konteks negara Indonesia terutama yang dikembangkan oleh Orde Baru.

Pada akhirnya, Negara menegasikan kepentingan rakyat, terutama kebutuhan-kebutuhan rakyat. Karena itu, demokrasi di bunuh atas dasar kepentingan negara, negara harus kuat, sementara rakyat harus lemah, yang tentu saja bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi harus dikubur dari panggung politik, karena ia akan mengancam represivitas diskursif yang dikembangkan. Reproduksi wacana dilakukan berulang-ulang dan aparatus negara yang patuh tadi siap menjaga seluruh proses berputarnya diskursif itu di dalam masyarakat. Inilah yang disebut dengan tirani wacana dan represi aparatus yang kemudian melahirkan negara otoriter.

Indonesia yang demikian adalah merupakan potret Indonesia dimasa Orde Baru, dimana kekuasaan dijalankan secara otoriter dengan kendali penuh kekuasaan. Pasca Soeharto, tentu saja harapan untuk mengubur masa lalu itu adalah merupakan keinginan semua orang. Mereka yang hidup di abad XXI, adalah mereka yang memiliki keinginan kuat untuk mendorong reformasi yang belum selesai diperdebatkan, baik pada tingkat diskursif maupun pada tingkat praksis. Demokrasi menjadi sebuah kenyataan untuk ditegakkan, akan tetapi demokrasi inilah yang menjadi persoalan hingga saat ini.

Transisi demokrasi yang dialami Indonesia adalah merupakan transisi yang panjang, belum ada tanda-tanda baik dari transisi ini, kecuali hanya kekecewaan yang berpintal-pintal dari masyarakat atas perilaku politik sebagian elit yang belakangan ini tambah “buas” lebih buas dari Orde Baru.

Karena itu, apa yang kita saksikan saat ini adalah merupakan minimalisme demokrasi yang direduksi secara vulgar oleh perilaku elit dalam pertunjukan keseharian mereka. Mereka melakukan “pembajakan” atas tesis demokrasi untuk memenuhi hasrat dan kepentingan pribadi/kelompoknya, akan tetapi lupa, bahwa bangsa dan negara adalah jauh lebih penting dibandingkan dengan apa yang tengah dilakukannya. Mereka ini telah mengeruk tesis demokrasi dari wilayah substansial-nya untuk dipraktekkan secara artifisial dan “banal” hanya untuk memenuhi hasrat-hasrat maksimal bagi kelompok/pribadi tertentu dan meminimalkan praksisisme demokrasi.

Pada akhirnya, demokrasi sudah bukan lagi persoalan penting untuk ditegakkan apalagi diperjuangkan. Demokrasi telah menjelma menjadi perilaku politik pragmatis yang dipertontonkan oleh aktor-aktor demokrat yang minimalis yang menyebabkan demokrasi di ‘kocak’ dengan pendekatan oportunisme politik.

Pada tingkat praksis, demokrasi telah berubah menjadi mesin kekuasaan bagi orang-orang tertentu untuk diteriakkan agar bisa disebut sebagai seorang demokrat. Seorang demokrat dalam situasi transisi seperti ini adalah merupakan penyelamat dan penyambung lidah kebenaran bagi masyarakat, sehingga isu demokrasi adalah merupakan isu yang sangat sensitif untuk dilempar ke ruang publik. Publik nanti akan menangkap isu itu, lalu menebarlah virus-virus demokrasi kepada rakyat yang di suarakan oleh seorang/sekelompok orang yang ingin disebut sebagai pahlawan demokrat. Padahal pada saat yang sama, demokrasi bagi mereka amat dibenci dan kebencian mereka atas demokrasi ini ditunjukkan pada keseharian mereka. Teriakan-teriakan demokrasi ini di ikuti dengan melakukan perubahan pada perangkat keras demokrasi, seperti perubahan konstitusi, reformasi lembaga-lembaga negara yang merupakan instrumen demokrasi, akan tetapi tidak menginjeksi secara lebih memadai dan jujur tesis demokrasi ini kepada rakyat. Mereka mengharapkan agar rakyat mau bersikap demokratis kepada mereka, akan tetapi mereka tidak ingin bersikap demokratis kepada rakyat. Artinya hanya rakyat yang di suruh untuk memahami secara demokratis apa yang mereka lakukan, akan tetapi mereka tidak mau bersikap demokratis kepada rakyat. Pada konteks inilah, kegagalan terciptanya perangkat lunak demokrasi itu tak terhindarkan, yakni dikala sejumlah kalangan elit tidak mau bergeser dari pragmatisme dan oportunisme politik. Mereka pura-pura menjadi seorang demokrat, pura-pura menjadi seorang pejuang reformasi, akan tetapi dibalik itu, mereka ingin menjebak transisi yang berkembang ke arah pemerintahan otoritarian.

Kontekstualisasi demokrasi sebagaimana yang di katakan Oleh Robert A. Dahl, misalnya akan tercermin bukan hanya pada perangkat lunak saja, akan tetapi juga pada perangkat keras demokrasi tersebut. Dahl (1986: 17-18) menyebutkan terdapat tujuh lembaga khusus yang berkembang yang membedakan rezim-rezim politik negara-negara demokrasi modern dari semua rezim lainnya; pertama, kontrol atas keputusan-keputusan pemerintah tentang kebijaksanaan secara konstitusional dibebankan pada pejabat-pejabat yang dipilih. Kedua, para penjabat yang dipilih selalu berasal dari proses pemilihan yang dilakukan secara jujur, setiap unsur paksaan dianggap sebagai suatu hal yang sangat memalukan. Ketiga, secara praktis, semua orang dewasa mempunyai hak dalam memilih penjabat-penjabat resmi. Keempat, secara praktis semua orang dewasa mempunyai hak untuk dipilih sebagai penjabat resmi dalam pemerintahan, meskipun batas umur untuk dipilih mungkin lebih tinggi dari batas umur untuk memilih. Kelima, warga negara mempunyai hak untuk mengeluarkan pendapat tanpa ancaman akan dihukum, mengenai soal-soal politik yang ditentukan secara luas, termasuk melancarkan kritik terhadap para penjabat, pemerintahan, rezim, tata sosio ekonomi dan ideologi yang berlaku. Keenam, warganegara mempunyai hak untuk mendapatkan sumber-sumber informasi alternatif, karena memang sumber-sumber dimaksud ada dan dilindungi hukum. Ketujuh, untuk mencapai berbagai hak mereka, termasuk yang disebut di atas, setiap warga negara juga mempunyai hak untuk membentuk perkumpulan-perkumpulan atau organisasi yang relatif independen, termasuk partai-partai politik dan kelompok kepentingan yang bebas.

Dahl ingin menyampaikan bagaimana idealnya demokrasi itu dibangun dan ditegakkan. Selain perangkat keras seperti partai politik, lembaga-lembaga negara dan beberapa institusi lain yang membantu mendorong demokrasi lebih maju, maka harus disediakan juga ruang ekspresi bagi rakyat untuk mengajukan gugatan dan protes atas praktek-praktek kekuasaan. Akan tetapi tidak berhenti sampai di situ, karena harus ada skenario lanjutan yaitu, rakyat berhak untuk mendapatkan pendidikan politik dari perangkat lunak tadi. Biasanya yang memiliki tugas seperti ini adalah partai politik.

Bingham Powel, Jr. (1982: 3, Afan Gaffar: 1989) mengemukakan pemahaman yang lazim digunakan dalam Ilmu Politik mengenai “political performance” sebagai indikator kehidupan politik yang demokratis adalah sebagai berikut; Pertama, legitimasi pemerintah berdasarkan atas klaim bahwa pemerintah tersebut mewakili keinginan rakyatnya. Artinya klaim pemerintah untuk patuh kepada aturan hukum didasarkan pada penekanan bahwa apa yang dilakukannya merupakan kehendak rakyat.

Kedua, pengaturan yang mengorganisir bargaining untuk memperoleh legitimasi dilaksanakan melalui pemilihan umum yang kompetitif. Pemimpin dipilih dengan interval yang teratur, dan pemilih dapat memilih diantara beberapa alternatif calon. Dalam prakteknya, paling tidak terdapat dua partai politik yang mempunyai kesempatan untuk menang sehingga pilihan tersebut benar-benar bermakna. Ketiga, sebagian besar orang dewasa dapat ikut serta dalam proses pemilihan, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon untuk menduduki jabatan penting. Keempat, penduduk memilih secara rahasia dan tanpa dipaksa. Kelima, masyarakat dan pemimpin menikmati hak-hak dasar, seperti misalnya kebebasan berbicara, berkumpul, berorganisasi, dan kebebasan pers. Baik partai politik yang lama maupun yang baru dapat berusaha untuk memperoleh dukungan.

Indonesia dalam masa persilangan waktu yang serba tidak jelas saat ini, telah melahirkan sebuah kondisi politik yang transisional. Kondisi dimana demokrasi memerlukan bangunan yang kuat dengan perangkat keras yang memadai yang di dukung oleh perangkan lunak yang cerdas. Apa yang disebutkan oleh Bingham di atas adalah merupakan salah satu pendekatan yang ideal mengenai sebuah kondisi untuk mencapai posisi demokratis.

Pada waktu yang berbeda dalam rangka memaknai demokrasi yang berisikan kompetisi, kontestasi dan partisipasi –­Larry Diamond, Linz dan Lipset, mendifinisikan demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan yang memenuhi tiga syarat pokok yaitu: pertama, kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas diantara anggota masyarakat dan kelompok-kelompok kepentingan didalam memperebutkan jabatan pemerintahan yang punya kekuasaan dalam jangka waktu yang teratur dan tidak menggunakan daya paksa; kedua, partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga negara dalam pemilihan pemimpin atau kebijakan lewat pemilihan umum yang diselenggarakan secara adil dan teratur sehingga tidak satupun kelompok sosial (warga negara dewasa) tanpa kecuali; ketiga, tingkat kebebasan sipil dan politik yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan membentuk dan bergabung dalam organisasi yang cukup untuk menjamin integritas kompetisi dan partisipasi politik (Jurdi & Irianto: 2006).

Reformasi dan Kegagalan perubahan sosial di Indonesia

Prediksi tentang demokrasi di Indonesia telah sangat banyak dilakukan oleh para pakar. Ada yang begitu optimis dengan keadaan Indonesia akan sukses menuju transisi demokrasi, akan tetapi ada yang pesimis bahwa transisi demokrasi yang kita lewati saat ini akan gagal. Kegagalan itu terindikasi dengan bangunan politik pasca Soeharto yang rapuh, serta jabatan-jabatan kekuasaan yang diisi oleh orang-orang lama yang dulu juga berkuasa pada masa Orde Baru. Pada sisi yang lain perangkat keras demokrasi tidak bisa menjamin terbentuknya situasi demokrasi yang sukses, karena antara satu lembaga dengan yang lain saling tumpah tindih fungsi dan kewenangan yang kemudian melahirkan perebutan wilayah kekuasaan, sehingga keinginan untuk mendorong demokrasi bukan lagi menjadi tanggung jawabnya. Jika merujuk pada pandangan Elizabeth Santi Kumala Dewi (2005), kegagalan demokrasi itu disebabkan oleh; pertama, Lembaga Demokrasi Belum Menjadi Alat Demokrasi yang Baik: Harus diakui bahwa proses demokratisasi di Indonesia sejak runtuhnya kekuasaan represif Orde Baru 1998 lalu memang berlangsung cukup dramatis hingga ada yang menganggap Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar (third largest democracy in the world) setelah India dan Amerika Serikat. Namun, terbukanya ruang demokrasi (democracy space) yang sangat luas selama masa transisi ini belum menunjukkan adanya kerangka kuat untuk mewujudkan kemapanan budaya demokrasi. Tumbuh sumburnya sejumlah partai politik baru, kemerdekaan mengeluarkan pendapat/berorganisasi, adanya kebebasan pers, yang disertai pelaksanaan desentralisasi melalui pemberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, ternyata belum bisa membangkitkan pilar-pilar demokrasi yang kokoh. Artinya, lembaga-lembaga demokrasi yang tumbuh subur di Indonesia sejak runtuhnya Orde Baru lalu belum bisa menjadi alat demokrasi yang baik. Bahkan, sistem kepartaian di Indonesia yang dibangun selama masa transisi ini belum kokoh yang memiliki kapasitas dalam melancarkan partisipasi politik masyarakat melalui jalur partai hingga dapat mengalihkan segala bentuk aktivitas politik anomik dan kekerasan. Perlu dicatat bahwa yang mendorong pembangunan politik bukanlah banyaknya jumlah partai politik yang muncul, melainkan tergantung kekokohan dan adaptabilitas sistem kepartaian dalam menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial baru yang muncul sebagai akibat modernisasi. Tapi, jika melihat sepak terjang aktor-aktor keterwakilan dalam lembaga parlemen dan partai politk di Jawa Tengah selama masa transisi ini, masih terkesan masih carut marut atau mengalami ketimpangan dan cenderung menegasikan aspirasi publik. Ketika pemerintah pusat sudah mulai membagikan kewenangannya kepada pemerintah daerah melalui pelaksanaan Otonomi Daerah, partai politik justru masih bersifat sentralistik hingga para pengurus partai di tingkat lokal tetap terhegemoni oleh kepentingan sempit pengurus partai di tingkat nasional. Akibatnya, kemungkinan terjadinya tarik-menarik kepentingan di tingkatan internal partai politik bisa menciptakan kerwanan akan terjadi konflik yang bisa menimbulkan konflik kekerasan di tingkat massa pedukung partai.

Kedua; Sifat Partisipasi Politik Masyarakat Masih Tradisional: Pemerintahan sentralistik-militeristik dan kebijakan massa menggambang yang diterapkan Orde Baru selama 32 tahun rupanya benar-benar telah melumpuhkan wacana demokrasi dalam kehidupan masyarakat hingga menyingkirkan praktik-praktik seleksi kepemimpinan secara fair yang berdasarkan kompetensi, kapabilitas, dan integritas individu. Sementara pendidikan kewarganegaraan (civic education) selama masa transisi demokrasi ini belum diikuti peningkatan partisipasi politik masyarakat yang cukup signifikan dalam mendorong terwududnya Good Governance di pemerintahan lokal. Pengaruh budaya Jawa; seperti ewuh pakewuh (sungkan) dalam mengeluarkan pendapat atau kritik, dan rendahnya tingkat pendidikan serta kondisi perokonomian masyarakat Jawa Tengah masih menjadi penghambat upaya pembangunan kekuatan civil society sebagai pilar demokrasi. Padahal, tingkat partisipasi politik masyarakat yang benar-benar belum otonom hanya akan mewujudkan bentuk-bentuk partisipasi politik yang dimobilisasi. Hal ini jelas sangat berpotensi menjadi sasaran manipulasi atau rekayasa pihak tertetu yang bisa menimbulkan konflik horizontal antar kelompok politik.

Transisi demokrasi bisa diramalkan dengan melihat kondisi politik Indonesia yang penuh dengan harapan-harapan yang terlampau optimis, akan tetapi tidak diiringi dengan perubahan-perubahan yang signifikan dari semua aspek. Justru perubahan yang terjadi adalah perubahan yang tambal sulam, tidak terarah dan memiliki konstruksi demokrasi yang dilacurkan demi kepentingan kekuasaan. Karena aliansi kelas menengah oposisi tidak terkonsolidasi secara lebih baik, bahkan hampir tidak terbentuk sama sekali, sehingga transisi hanyalah menjadi alat analisis sebagian elit.

Di sini Vedi R. Hadiz (2005: xvii) yang tampaknya menampik kemungkinan adanya semacam aliansi lintas kelas yang mampu menyusun dan mendesakkan agenda-agenda transformatif di era pasca-Soeharto.

Vedi percaya, bahwa sifat dari relasi kekuasaan (power relations) yang menopang rezim yang lama tidak mengalami perubahan yang fundamental. Konsekuensinya, kerangka institusional kekuasaan dapat berubah – misalnya kearah yang lebih demokratis dan terdesentralisasi sebagaimana di Indonesia setelah jatuhnya Soeharto – tetapi relasi kekuasaan yang menopangnya mungkin saja bertahan dalam konteks institusional yang baru. Dalam hal ini, relasi kekuasaan yang dimaksud adalah yang melekat pada semacam predatory capitalism yang masih bercokol dengan kuat sebagai warisan utama era Orde Baru yang panjang. Jenis-jenis kekuatan lama yang menopang otoriterisme Soeharto kini menjadi bagian penopang demokrasi Indonesia pasca-Orde Baru (2005: xxv).

Sehingga transformasi – baik dalam bentuk system maupun institusi – sebagaimana yang awalnya diprediksikan gagal akibat dari tidak terjadinya pergeseran aktor dan mentalitas para aktor. Relasi Soeharto yang telah menanamkan benih-benih ideologi politik konservatif tidak selamanya mudah untuk dihancurkan sekaligus, sehingga yang terjadi pada rezim pasca Orde Baru adalah transplantasi “penyakit” yang kukuh berkuasa selama 32 tahun itu tanpa mengalami perubahan fundamental. Mereka yang berkuasa pasca Soeharto sulit untuk melepaskan diri dari cengkeraman masa lalu, karena terlalu banyaknya kader ideologis yang dihasilkan oleh Soeharto serta kuat pengukuhan system politik sentalistik selama rezim ini berkuasa.

Siapapun yang berkuasa pasca Soeharto, sulit untuk keluar dari kukuhnya hegemoni system dan ideology politik masa lalu. Habibie, Gusdur, Megawati, hingga SBY, tidak mampu mendorong perubahan Indonesia untuk menuju ke arah situasi demokratis, sebagaimana janji dan komitmen politik yang mereka tawarkan kepada publik. Hampir semuanya terjebak pada premis-premis kekuasaan “predator” yang menyeret mereka pada banalitas kekuasaan. Tentu demokrasi tidak mungkin diharapkan dari para “predator politik”, karena mereka tidak bisa menarik diri dari kekuatan yang menggenggam mereka, baik itu system politik maupun kapitalisme yang memaksa mereka untuk secara terus-menerus patuh. Dari empat presiden Indonesia pasca Orde Baru, tidak ada yang berani memutus hubungan dengan IMF dan mampu menyelesaikan utang-utang Negara. Pada akhirnya komunikasi politik elit di hadapan Negara-negara “kapitalisme rente” seperti AS adalah komukasi inferior. Inilah yang disebut oleh Vedi dengan “predator capitalism”.

Untuk melihat konteks bahwa “predator politik” sulit untuk dihindari di dalam permainan politik pasca Orde Baru, Vedi mencoba untuk melihat Gus dur sebagai contoh. Gus Dur adalah merupakan seorang intelektual proreformasi dan prodemokrasi sebelum menjadi presiden, ternyata harus tersedot juga ke dalam logika predatory politics. Untuk survive, sang kiai liberal pun harus menggunakan taktik yang kurang lebih sama dengan lawan-lawannya, walaupun akhirnya dia kalah. dengan vulgar Vedi mengatakan, bahwa pada dasarnya perangkat kelembagaan kehidupan demokrasi di Indonesia telah ‘dibajak’ oleh kaum ‘penjarah’ politik.

Tetapi yang lebih parah, kepemimpinan Megawati yang mengaku sebagai pelindung wong cilik juga tidak jauh berbeda dengan kepemimpinan sebelumnya. Penjualan aset negara seperti Satelindo dan pembelian pesawat Sukhoi dari Rusia, adalah kebijakan politik yang tidak bisa menghindar dari tesis “predator” tadi. Sehingga siapapun yang berkuasa di Indonesia akan gagal membangun demokrasi sebagaimana i’tidak awal mereka di saat-saat kampanye politik dilakukan. Karena terlalu banyaknya ranjau yang harus dilalui oleh aktor-aktor tersebut, sehingga keinginan untuk melakukan perubahan serat keinginan untuk membangun demokrasi sebagaimana keinginan kuat di awal-awal kehancuran Orde Baru akan selalu gagal.

Tidak ada yang menjamin jika saja Amien Rais sempat menjadi presiden, tentu sulit untuk keluar dari perangkap sistem dan ideologi politik konservatif yang begitu kukuh berkuasa selama 32 tahun dibawah Soeharto. Bukan mustahil Amien Rais akan menjadi “predator politik” yang juga sama dengan presiden yang lain. Karena perangkap yang dibangun menyulitkan orang untuk mengelak dari kenyataan-kenyataan politik yang ada. Itu juga yang sedang menimpa Susilo Bambang Yudoyono (SBY) saat ini, yaitu terjebak pada tipuan-tipuan sistem politik ”predator”. Karena SBY yang pada awalnya merupakan harapan untuk mengembalikan posisi Indonesia yang pincang dan mendorong demokrasi, justru gagap untuk bersikap konsisten. SBY tidak lebih dari ”budak” kapitalisme rente yang juga sama dengan mereka yang sebelumnya. Di sinilah kita mesti melihat apakah Indonesia cukup kondusif untuk di dorong menuju transisi demokrasi ataukah justru demokrasi hanyalah menjadi isu elit belaka yang tidak mungkin bisa terwujud sama sekali?.

Tidak salah memandang politik Indonesia pada aras yang tumpang tindih, yaitu antara memasuki wilayah banalitas politik dengan terlibatnya aktor lama yang tidak menghendai perubahan terjadi pada sistem politik Indonesia pasca Orde Baru. Kepemimpinan politik yang hendak mendorong kereta demokrasi yang kemudian semuanya berakhir dengan gagal, adalah akibat terlalu kuat dan kukuhnya hegemoni politik Orde Baru yang diwariskan melalui aparatus ideologisnya yang kemudian berganti muka di dalam sistem dan institusi-institusi demokratis. SBY yang dipundaknya hendak mendorong perubahan penting bagi transisi demokrasi yang tengah terjadi, tidak mampu berbuat banyak, selain karena dia adalah merupakan kader politik Soeharto yang dibesarkan dalam tradisi kepemimpinan militer, juga prinsip oligarki militer yang dikembangkan oleh Soharto – dimana SBY adalah bagian dari pelakunya – masih melekat bersama-sama dengannya. Oligarki militer yang kemudian menguasai kantong-kantong ekonomi Indonesia selama masa Soeharto, telah mendorong militer menjadi pelaku bisnis dari pada menjalani profesionalisme sebagai pasukan negara. Karena mereka mampu meyakinkan investor asing bahwa Indonesia aman, maka injeksi modal kapitalisme yang masuk, juga ikut dinikmati oleh elit-elit militer, dimana di dalamnya adalah juga SBY.

Dalam konteks ini, tentu saja transisi demokrasi akan gagal bahkan bisa jadi akan muncul faksionalisme politik untuk menghancurkan transisi menuju kekuasaan otoritarian baru yang jauh lebih ganas dari masa lalu. Gelombang balik otoritarianisme ini akan berpeluang besar terjadi jika melihat Indonesia yang sedang terjadi saat ini, dimana situasi politik serba tidak jelas.

Fakta bahwa SBY tidak bisa keluar dari cengkeraman masa lalu dan sekaligus sebagai pemimpin yang patuh pada kehendak penguasa kapitalis adalah tak terhindarkan, jika melihat kebijakan-kebijakan dan perilaku politiknya. Penyerahan pengelolaan pertambangan Blok Cepu kepada AS sebagai operator sebagaimana yang dibahas sekilas di bab selanjutnya adalah menjadi salah satu tanda bahwa SBY tidak lebih dari ”predatory capitalism” sebagaimana yang disebutkan oleh Vedi. Dan ini merupakan awal dari kegagalan untuk membangun demokrasi Indonesia dengan komitmen kebangsaan yang lebih mandiri, karena harus tetap berada dibawah kendali politik dan ekonomi negara-negara satelit seperti Amerika. Fakta yang lain adalah persiapan SBY pada saat kunjungan Josh W. Bush (presiden AS) ke Indonesia tahun 2006 yang mendapat kritik dari berbagai kalangan. Bush bagaikan ”tuhan” disambut dengan sangat meriah, mahal dan yang paling menyakitkan sepertinya Indonesia sedang di jajah. Kedatangan Bush sebagai kepala negara penjajah, diterima oleh Indonesia yang terjajah dengan cara-cara yang tidak masuk akal. Fenomena itu menandakan Indonesia yang inferior, Indonesia yang masih terjajah, sama dengan dibawah kolonialisme Belanda. SBY tentu saja adalah biang keladi dari semua itu, karena sebagai ”predator capitalism” ia harus mematuhi kehendak negara satelit itu.

Karena itu, harapan untuk mendorong demokrasi dan pemerintahan yang mandiri pasca Orde Baru adalah merupakan harapan yang terlampau gigantis, mengingat posisi politik Indonesia berada dibawah kendali negara-negara raksasa itu. Belum lagi anak kandung Orde Baru masih tumbuh subur diberbagai institusi politik yang hendak di dorong ke arah demokrasi.

Liberalisme politik Indonesia pasca Soeharto, tidak serta merta menghancurkan karakter dasar rezim ini dari praktek-praktek keseharian. Karena itu sudah menyangkut tradisi kerangka politik yang sulit untuk diajak kompromi dalam jangka waktu yang pendek, sehingga perjalanan panjang transisi demokrasi melalui jebakan-jebakan terjal yang sangat berbahaya.

Sehingga menurut Vedi (2005: xxix) posisi Yudhoyono harus dilihat dalam konteks struktur sosial, ekonomi dan politik secara lebih holistik, sebagaimana juga aktor politik lainnya. Tentu dia tidak bisa dipandang semacam Ratu Adil, sebagaimana mungkin diharapkan oleh para pendukungnya. Sebagaimana diketahui, Yudhoyono adalah politisi-jenderal – dibesarkan pada masa Orde Baru – yang harus menavigasikan dirinya di antara berbagai ’karang’ berupa sejumlah kepentingan yang saling berkompetisi untuk mendapatkan tempat yang aman dan menentukan dalam masyarakat dan politik Indonesia pasca-Soeharto. Mereka berkompetisi untuk memenangkan akses dan kontrol terhadap sumber daya dan institusi negara, pusat maupun lokal, yang memungkinkan pembentukan dan pelanggengan jaringa-jaringan patronase yang pada dasarnya bersifat predatoris. Sebagaimana aktor politik manapun, dia dihadapi oleh berbagai pilihan. Tetapi pilihan dan kemungkinan yang tersedia untuknya dibatasi pula oleh faktor-faktor seperti konstelasi kepentingan, struktur kekuasaan, dan warisan kesejarahan.

Karena itu, lanjut Vedi, masa depan Indonesia tidak semata-mata tergantung niat baik seorang pemimpin, apakah itu Yudhoyono atau pemimpin yang lain. Yang harus kita pahami adalah sifat dari konstelasi kekuatan dan kepentingan sosial yang ada. Di mana tempat Yudhoyono didalam konstelasi tersebut?. Mewakili kepentingan atau koalisi kepentingan macam apakah dia?. Dalam hal ini, kita perlu mempertimbangkan latar belakangnya seorang jenderal Orde Baru yang senior, sosialisasi politiknya dalam ideologi Orde Baru, serta keperluannya terhadap dukungan pemodal, birokrasi negara, serta kepentingan institusional aparat militer dan keamanan, yang resmi maupun setengah-resmi. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau gebrakannya terhadap korupsipun, yang digembar gemborkan pada awal masa pemerintahannya, dalam kenyataannya tidak menghasilkan buah yang terlalu hebat sampai saat ini. Belum lagi kepentingan investor asing, yang sering diwakili melalui tekanan dari lembaga-lembaga internasional seperi Bank Dunia atau IMF, yang selalu juga harus dipertimbangkan oleh Yudhoyono karena keterperosokan Indonesia dalam krisis ekonomi sebelumnya (2005: xxx).

Sebab itu, meramalkan perubahan sosial di Indonesia dimasa depan tidak bisa lagi diharapkan kepada elit kekuasaan, karena mereka adalah agen komprador dari rezim sebelumnya yang bersilangan dengan kekuatan kapitalisme yang tentu saja akan memerangkap Indonesia pada tipuan gradualisme. Janji-janji perubahan hampir didendangkan oleh empat presiden Indonesia pasca Soeharto, akan tetapi kesemuanya terbukti gagal mendorong perubahan tersebut.

Karena itu, jalan yang akan penulis tawarkan hanyalah satu untuk menuju Indonesia yang merdeka, yaitu revolusi, dengan mengerahkan kekuatan massa. Menghancurkan seluruh agen komprador, mendesak demokrasi agar segera di tegakkan, serta mengutuk agen-agen “jahat” kapitalisme yang hidup di kampus-kampus. Mereka itu telah menjadi parasit yang handal dalam upaya untuk menjebak demokrasi agar masuk pada premis-premis agen komprador dengan jalan legitimasi intelektual. Mereka mendapatkan upah yang tinggi atas “kejahatan” yang dilakukannya, dan mereka bagaikan buruh di pabrik-pabrik industrialisasi. Atau boleh jadi mereka adalah buruk intelektual yang menciptakan tipuan-tipuan kebenaran, membenarkan kepalsuan-kepalsuan dan mengajak kompromi pikiran-pikiran jahat mereka untuk menghancurkan demokrasi, mengalienasi rakyat dari hak-hak politik mereka, dan melakukan tipuan-tipuan massal atas kebenaran-kebenaran yang otoritatif. Mereka adalah dosen-dosen liberal, professor-profesor liberal, doctor-doktor liberal, Koran-koran kampus liberal, radio-radio kampus liberal yang belakangan mereka itu disebut sebagai kekuatan civil society. Adakah civil society yang menjadi budak liberalisasi pasar, hamba kapitalisme dan dan melakukan pengingkaran atas demokratiasi?.

Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan, disana bersemayam kemerdekaan, jika engkau paksa aku diam, akan kusiapkan untukmu pemberontakan.

[1] . Makalah yang di sampaikan pada saat Diskusi Publik yang dilaksanakan oleh kelompok studi Eka Prasetya di Kampus UI Depok pada tanggal 3 November 2007.

[2]. Mantan Sekum IMM Kom. FIS UNHAS Periode 2003-2004, PC. IMM Makassar Perintis periode 2003-2005; anggota Lembaga Pers DPD IMM Sul-Sel Periode 2003-2005; Sekretaris DPD IMM Sul-Sel periode 2005-2007; redaktur ahli jurnal Profetik; pernah singgah di KAMMI Unhas; Ketua Kajian strategis Komunitas Intelektual Muda Muslim FIS UNHAS 2003-2004; Wakil Ketua Majelis Tinggi Mahasiswa (MTM) Fakultas Hukum Unhas 2004-2005; Ketua Badan Kehormatan Mahasiswa (BKM) Fakultas Hukum Unhas periode 2006-2007; Ketua Kajian Strategis Komunitas Mahasiswa Bima (KMB)-Makassar 2004-2005; Pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sul-Sel 2004-2006; Deputi Lembaga Kajian Sosial dan Agama (LEKSA) Makassar 2004-2009; Peneliti lapangan pada Lingkaran Survei Indonesia (LSI)-Jakarta; Koordinator bidang Provokasi Publik Lembaga Peduli Pembangunan Bangsa (LP2B)-Makassar; Project Officer pada Prophetic Institute; Centre For Research, Popular Education and Empowerment–Indonesia; dan sekarang menjabat Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-Indonesia. Sekarang sedang menjalani studi perbandingan di Universitas Indonesia. Menulis buku antara lain: Membalut Luka Demokrasi dan Islam (2004); Aib Politik Muhammadiyah (2007); Delegitimasi Terhadap Komisi Yudisial (Kreasi Wacana;2007); Feminisme Profetik (editor) (Kreasi Wacana: 2007): Oposisi Lintas Kelas Mengukuhkan Demokrasi (Naskah Di Juxtapose, Yogyakarta); Sporadisme Oposisi; Sebuah Pengkhianatan Intelektual (Naskah di Kreasi Wacana, Yogyakarta); Predator-Predator Politik; Membongkar Sindikat kekuasaan (Naskah Siap Terbit). HP: 085299262424