Jumat, 17 April 2009

GOLPUT, SUARA BATAL, DPT DAN MALAPETAKA DEMOKRASI

Oleh
Fajlurrahman Jurdi
Direktur EKsekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-Indonesia
Harian Fajar, 07 April 2009
Persoalan substansial dari demokrasi kita adalah pendidikan politik dan kemauan untuk meng-enganged diri dalam arena publik. Baik sebagai peserta aktif maupun pasif, dalam arti keterlibatan itu, tidak harus menjadi kontestan, namun juga memilih kontestan.
Pemilu tampaknya menyisakan berjuta harapan bagi konstruksi demokrasi di masa yang akan datang. Pemilu 2009 ini bagi sebagian besar pengamat menganggap sebagai puncak terakhir untuk menguji "kelayakan" proses transisi demokrasi untuk dievaluasi secara menyeluruh.
Apakah kita akan mengikuti "bisikan" demokrasi di masa mendatang, atau malah kita akan menghentikan proses transisi ini sebagai titik episetrum untuk kembali melakukan rekonsolidasi ke kutub otoritarianisme.
Atau kita mengikuti siklus Polybios, bahwa kita akan segera secara perlahan-lahan menuju fase lanjutan siklus, yakni oligarki. Tampaknya pertanyaan apapun di masa kini, hanya akan bisa dijawab setelah Pemilu 9 April mendatang.
Sebelumnya Robert Dahl mengingatkan, bahwa demokrasi kita saat ini amat sangat kuantitatif, atau Dahl mengatakan demokrasi prosedural (procedural democracy). Kita menganggap persoalan kebangsaan, seperti kemiskinan, kemelaratan, keterbelakangan, kebodohan dan kepandiran kita sebagai bangsa bisa diselesaikan dengan angka-angka.
50 persen + 1 adalah cara yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan problem kebangsaan itu. Demokrasi kuantitatif memang tidak sepenuhnya salah, sebagai limit agar menegaskan posisi kita untuk melakukan perubahan. Batasan-batasan kuantitatif memang perlu untuk menegaskan diri sebagai bangsa yang teratur.
Akan tetapi kalau kita berhenti pada hitungan-hitungan kuantitatif, pada angka-angka seperti 50 persen 1, maka kita akan menghentikan persoalan substansial dari demokrasi kita. Persoalan substansial seperti kemiskinan dan keterbelakangan, tidak bisa diselesaikan lewat hitungan 50 persen + 1, karenanya, problem epistemik kita sebagai bangsa amat berbahaya apabila itu yang kita jadikan ukuran untuk melakukan proses pembangunan.
Demokrasi kita terlalu materialistis, karenanya amat mahal. Partai tidak berpikir untuk bekerja untuk membangun kaderdisasi dan pendidikan politik, sehingga tidak ada satupun partai di Indonesia yang bisa disebut sebagai partai ideologis. Yang bertebaran dalam arena demokrasi kita adalah partai massa, yaitu partai yang seluruhnya bekerja membangun kekuatan untuk merebut kekuasaan.
Dalam kaitannya dengan pemilu dan harapan yang terlalu besar akan demokrasi, ada beberapa persoalan teknis yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh negara/kekuasaan dalam upaya untuk menciptakan demokrasi.
Dengan harapan dan dada membusung mengaku telah bekerja keras demi suksesnya ritual suksesi politik dan hajatan demokrasi. Semua perangkat telah disiapkan dan prasyarat hajatan demokrasi telah ada, tinggal menunggu detik-detik suksesi itu dimulai.
Seolah-olah dalam pidato telah bekerja maksimal, seolah-olah dalam ceramah tak ada masalah, juga seolah-olah semuanya tak ada masalah. Itulah lembaga Pemilihan Umum kita yang bernama KPU. Komisi ini belakangan bekerja amburadul dibanding pada tahun 2004.
Ada beberapa masalah yang akan segera muncul dan akan menjadi ancaman serius bagi proses transisi demokrasi kita. Pertama, Golput. Golput telah menjadi hantu yang amat menakutkan bagi partai politik dan para caleg, sama menakutkannya negara Orde Baru bagi civil Society di masa Soeharto berkuasa.
Golput atau golongan putih ini akan menjadi momok bagi eksistensi mereka, sekalipun memang tidak akan mendelegitimasi mereka secara hukum, namun apabila jumlah pemilih tidak mencapai 50 persen, maka akan menjadi alasan bagi kelompok oposisi untuk mengatakan bahwa kinerja partai politik untuk meyakinkan rakyat telah gagal. Juga menjadi alasan, bahwa demokrasi kita, sebagai tahap ujian untuk menentukkan sikap dalam intaian ancaman.
Sampai Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa haram Golput, sekalipun itu Fatwa yang agak "menyebalkan" dan bukan fatwa teologis, namun lebih pada fatwa politik, maka Golput akan mencapai angka dramatis, akan berkisar 35-45 persen. Sebuah angka yang amat menakutkan bagi proses konsolidasi demokrasi. Kita lihat angka Golput di beberapa Pilkada.
Dari beberapa hasil Pilkada berikut data Golput di masing-masing Pilkada, baik Pilbup, Pilwalkot, sampai Pilgub: - Golput di Pilgub Jateng 45,3 persen, Jatim 39,2 persen, Kaltim 42,07 persen, DKI Jakarta 36,2 persen, Pilgub Sulsel 33 persen, Jawa Barat 34,67 persen, Kalbar 37,69 persen, Banten 39,28 persen, Sumatera Utara 41 persen, Kalsel 40 persen, Sumbar 37 persen, Jambi 34 persen, Kepri 46 persen, Pilbup Cirebon 38, 22 persen, Bandung 30,19 persen, Pilbup Pati 50 persen, Bogor 45 persen, Wajo 32 persen, Sukoharjo 42,33 persen, Wonogiri 39,05 persen, di Pekalongan dan Solo masing-masing 50 persen, sedangkan angka golput tertinggi tercatat di Pilwalkot Pontianak yang mencapai 61 persen. Tampaknya angka ini adalah merupakan angka yang luar biasa, juga sekaligus betapa demokrasi kita di ambang petaka.
Kedua, Suara Batal. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan suara terbanyak, telah menyimpan sejumlah persoalan bagi demokrasi kita. Jika kita melihat ukuran kertas suara yang akan dicoblos di bilik suara pada tanggal 9 April nanti, sungguh ngeri bagi kualitas demokrasi. Letak dasar persoalannya bukan pada surat suara, tetapi kesiapan voters (pemilih) untuk melakukan pencontrengan.
Ukuran kertas yang selebar 84 x 63 sentimeter, dan jumlah partai yang banyak akan menyulitkan bagi pemilih. Ada dua problem besar bagi masyarakat yang tidak berpendidikan apabila melihat surat suara, yakni (1) Jumlah partai yang banyak dengan warna partai yang sama untuk beberapa gambar, dan (2) Di dalam kotak partai itu, ada urutan nama caleg. Jika pemilu tahun 2004 pemilih hanya memilih partai, sehingga agak mudah bagi mereka untuk membedakan, maka Pemilu 2009, selain kertas suara banyak, jumlah partai juga banyak, dan yang sangat menyulitkan nanti adalah mencari nama para caleg yang akan dipilih.
(3) Metode Contreng. Bagi masyarakat awam, ketika masuk bilik, tangan mereka gemetar ketika memegang pulpen. Ini akan berpengaruh secara psikologis ketika mencoblos. Karenanya, suara batal dalam Pemilu 2009 ini akan mencapai angka 20-25 persen. Pengalaman beberapa fungsionaris PuKAP-Indonesia yang terlibat dalam proses pendidikan politik arus bawah di beberapa daerah di Sulsel, menemukan kesulitan pemilih memilih partai, memilih caleg dan cara mencontreng.
Ketiga, Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang menjadi wacana hangat belakangan ini. Diperkirakan mereka yang tidak bisa memilih pada pemilu ini akibat birokrasi negara yang bernama UU Pemilu, juga sekaligus tidak adanya taktik untuk memberi ruang bagi yang tidak terdaftar sebagai pemilih untuk memilih pada tanggal 9 April, akan sangat banyak yang tidak bisa terlibat dalam pemilu.
Jika demikian, maka problem demokrasi kita akan tambah rumit. Di Sulsel saja jumlah DPT bermasalah berjumlah 67.639 nama. Di Jatim ada sekitar 43.088 DPT bermasalah. Begitu juga mungkin di tempat-tempat lain.
Lalu, di mana hitungan kuantitatif itu bisa dilakukan, jika engangement masyarakat beserta tetek bengek yang lain bisa mencapai angka di atas 50 persen? Ini impossible untuk melanjutkan agenda transisi demokrasi dengan mengabaikan hak-hak rakyat yang paling asasi.
Karena itu, menegosiasikan masa depan demokrasi pasca Pemilu 2009, tidak bisa dilanjutkan dengan menempatkan rakyat sebagai yang berdaulat, apabila keadaan politik hanya untuk upper class. Apalagi hitungan kuantitatif tidak mencapai limit yang tercantum dalam prosedur demokrasi.
Hitungan 50 persen + 1 tidak mencapai ambang batas, karena apabila dikalikan tidak sampai limitasi demokrasi. Katakanlah Golput 38 persen Suara batal 27 persen dan yang tidak bisa memilih 13 persen. Jadi, 38+23+9=70 persen. Jadi yang sah untuk merepresentasikan suara rakyat hanya 70 persen. Sungguh ini akan menjadi malapetaka bagi demokrasi.
Karena itu, meramalkan demokrasi sebagai suatu harapan di masa yang akan datang adalah tidak masuk akal dengan melihat infrastruktur politik seperti ini. Kecuali partai bekerja dan memulai untuk selanjutnya menjalankan tugas-tugas wajibnya. Selama ini partai politik tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagaimana layaknya seorang muslim yang menjalankan kewajiban menjalankan salat lima waktu.
Mereka telah berkhianat kepada rakyat dalam rantai sejarah yang amat panjang. Mungkin saatnya memang mereka harus dihukum, agar segera menyadari kesalahannya. Kita berharap ada perubahan mendadak dalam hitungan empat hari ke depan. Sehingga kita tidak mengalami kemunduran yang mengerikan di atas bertabuh harapan akan kemajuan demokrasi kita.

Tidak ada komentar: