Selasa, 24 Maret 2009

PARTAI POLITIK PREDATOR MENUJU PEMILU 2009

Oleh: Fajlurrahman Jurdi
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-Indonesia

Menjelang pemilu 2009, ada harapan yang menggebu dari banyak masyarakat Indonesia, bahwa partai-partai politik akan mampu memberi harapan baru bagi masa depan Indonesia. Parta-partai politik, yang sekalipun telah lama dalam kubangan pragmatisme, paling tidak, 2009 adalah merupakan awal bagi mereka melakukan revitalisasi orientasi dan keberpihakannya bagi masyarakat.

Partai-partai raksasa seperti Golkar dan PDIP, sekalipun pasca reformasi usai mereka tak punya kontribusi besar bagi pembangunan demokrasi, namun mereka adalah merupakan bagian dari pilar demokrasi, yang mau tak mau, suka atauidak suka harus diakui baik secara yuridis maupun secara sosiologis dan politik.

Partai, sebagaiman tujuan utamanya, adalah merupakan saran untuk menampung dan mengartikulasikan kepentingan rakyat, memperjuangkan kepentingan rakyat dan berkhidmat untuk rakyat.

Namun harapan itu pupus ditengah kemelut yang melanda partai politik kita, karena partai sudah tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya, ia tidak lagi sebagai sarana untuk mengagregasikan kepentingan rakyat, juga bukan sarana untuk memperjuangkan hak-hak rakyat, sebagaimana tujuan awal partai di dirikan.

Partai sudah menjadi sebuah perkumpulan para “gerombolan” politik yang mencari kekuasaan dengan ’rakus’ dimana mereka adalah merupakan aliansi oligarki “nakal” yang sudah tidak lagi bisa diharapkan menjadi penopang tegaknya demokrasi.

Partai telah menyebabkan rakyat hidup dalam “pintalan-pintalan” harapan yang sulit untuk mereka pahami, partai telah menjadi perkumpulan orang-orang yang sedang menegakkan “ajaran dusta”, partai telah menjadi penentang demokrasi yang paling sah, partai telah menjadi alat untuk menciptakan konflik komunal bagi perkumpuan sebagian para “bandit” politik. Itulah partai, ia telah menjadi virus demoralisasi massal dalam sebuah sindikat demokrasi.

Terlalu banyak orang yang menaruh harapan pada partai politik, namun tidak sedikit rakyat yang kecewa dengan perilaku partai politik. Partai politik secara institusional memang tidak salah, namun perilaku orang-orang di dalamnya telah menyebabkan fungsi-fungsi penting partai politik tidak dijalankan. Belum ada partai yang benar-benar memiliki keberpihakan pada komunitas tertentu yang diatasnamakan. Partai buruh, belum memiliki basis kekuatan buruh, yang tentu berbeda dengan Labour Party di Inggris.

Partai PDIP yang mengaku diri sebagai partai wong cilik, namun tidak jelas perjuangan kerakyatannya, partai-partai Islam seperti PKS justru menambah beban moral umat Islam. Apalagi sekarang PKS sudah tidak lagi menjadi partai Islam yang berideologi, namun partai yang hanya menjadikan ideologi sebagai tumbal. PKS sudah mendeklarasikan diri sebagai partai Islam yang berideologi inklusif, ia telah merumuskan gaya baru pemikiran Islam yang inferior dalam berpolitik.

Di saat orang terlalu banyak berharap agar PKS menjadi penegak ajaran moral bagi simbol Islam Politik, namun PKS telah “melacurkan diri” dalam pragmatisme dan oportunisme politik. Indonesia selama dan pasca Orde Baru tidak ada yang terlalu banyak berubah. Masih mewarisi sistem dan mekanisme politik masa lalu yang dibangun di atas mentalitas para “Predator”. Mentalitas inilah yang telah menyebabkan sistem politik Indonesia masuk dalam jebakan pramatisme dan oportunisme, dimana partai politik menjadi bagian yang determinan.

Partai politik, dari ideologi mananapun dan atas tujuan apapun serta identitas yang bagaimanapun juga yang ia gunakan, tidak ada satupun yang mampu keluar dari mekanisme predator masa lalu tersebut.

Mekanisme dimana seluruh urat nadi dan karakter sistem yang digunakan telah menciptakan polarisasi, determinasi, dan bahkan alienasi “epistemologis” dan “aksiologis”, tanpa mempertimbangkan lagi mekanisme “ontologisnya”.

Partai, sekalipun tidak menjadi satu-satunya perkumpulan untuk menegakkan demokrasi, namun partai begitu penting adanya di dunia modern. Partai telah menjadi “berhala” yang dianggap “sakral” untuk mengatakan demokratis atau tidak demokratisnya sebuah Negara. Sekalipun itu memang bukan harga mati. Tetapi sekaligus partai politik telah mengajarkan mentalitas “predator”, yakni mentalitas menerabas dan jalan pintas dengan memangsa hak-hak rakyat.

Sesungguhnya kita punya harapan yang besar, bahwa partai politik adalah tetap menjadi kekuatan penopang demokrasi yang visible, apapun alasannya. Karena kita harus jujur mengatakan, bahwa partai politiklah yang dianggap sebagai jalan terbaik bagi tegaknya demokrasi yang sehat. Sekalipun bukan satu-satunya jalan untuk membangun demokrasi. Namun, jika partai politik masih mempertahankan identitas mereka seperti saat ini, yakni sebagai “alat untuk mencapai kekuasaan” bukan “alat untuk memperjuangkan kepentingan kemanusiaan”, maka lebih arif dan dewasa partai-partai politik itu di “tiadakan” demi dan atas nama “kemanusiaan/kerakyatan”. “Peniadaan” ini bukan karena tidak suka dengan partai politik, namun lebih disebabkan pada artikulasi peran dan fungsi partai politik yang telah melenyapkan “moral demokrasi” untuk merebut kekuasaan dengan mempertaruhkan beruta-juta rakyat jelata yang selalu menjadi korban pikiran-pikiran “palsu” dalam partai politik. Rakyat hidup dalam “kubangan” harapan akan janji-janji yang tak pernah ditepati dalam setiap episode rutinitas demokrasi. Dari “pesta demokrasi” yang satu ke pesta demokrasi yang lain, hanya harapan yang menumpuk dalam pikiran rakyat, hingga mereka menjadi “kepala botak” hanya memikirkan dan mengharapkan janji-janji palsu partai politik.

Jika memang partai politik masih merupakan jalan terbaik untuk menegakkan demokrasi, maka seharusnya partai-partai besar maupun kecil yang hadir dalam setiap perhelatan “akbar demokrasi” mempertahankan identitas, janji dan keyakinan politik yang diberikan kepada rakyat.

Pesta demokrasi bukan hanya sekedar acara rutin lima tahunan dengan menghadirkan kontestan partai politik yang begitu banyak, layaknya dalam tradisi Negara yang menganut paham demokrasi liberal, tetapi merupakan sebuah pesta untuk memikirkan tentang masa depan Indonesia Kita, bukan “Indonesia siapa-siapa”, bukan Indonesia “mereka”, atau Indonesia “dia”, tetapi Indonesia “miliki kita”. Dengan demikian, partai politik tidak didirikan untuk membangun “distingsi” antara “aku” dan “mereka”, tetapi untuk membangun bangsa kita, yang bernama Indonesia.

Dalam konteks inilah partai politik kita tidak bisa menempatkan diri pada posisi yang wajar. Mereka adalah anak kandung modernisasi, yang dengan modernisasi itu pula mereka berubah menjadi liberal. Liberalisasi politik pasca Orde Baru, tidak diikuti dengan mentalitas aktor politik yang berjiwa demokratis, tetapi justru banyak diantara mereka yang mewarisi mentalitas politik “masa lalu”, masa Orde Baru. Inilah menurut penulis, yang menyebabkan “hampir” gagalnya proses transisi demokrasi yang sedang kita hadapi.

Di saat krisis kepercayaan atas Partai Politik saat ini, seharusnya semua pengurus Partai melakukan “tobat politik” untuk segera merevitalisasi diri, sistem dan mekanisme “permainan” dalam Partai.
Partai-Partai yang berkuasa dan yang hidup di “pinggiran” kekuasaan saat ini adalah partai yang tidak memiliki karakter dan komitmen keberpihakan. Partai besar bekerja dengan “rakus” untuk mencari keuntungan agar bisa memegang kekuasaan pada Pemilu 2009, sementara partai kecil mengaca diri sambil mengubah nama dan platform, tanpa mengubah komitmen. Mereka semua adalah sama, yakni para “predator” yang hendak merebut, mengolah dan mengutak-atik kekuasaan untuk kepentingan partai dan individu.
Padahal, inilah saat yang tepat seharusnya bagi partai politik untuk mengubah diri, agar “citra diri” partai tidak selalu jelek dimata masyarakat. Pemilu 2009 bukan hanya sekedar ajang perebutan kekuasaan antar partai, tetapi merupakan awal “peperangan” politik yang dahsyat bagi partai-partai yang ikut dalam kompetisi ini.

Partai pendatang baru harus bisa memberikan yang “berbeda” dari partai-partai lama yang telah masuk dalam kubangan pragmatisme tingkat tinggi. Mereka harus hadir dengan ide baru, pikiran baru, gagasan baru, narasi baru, perjuangan baru, konsep baru, aktor baru, dan mentalitas baru. Bukan mentalitas “predator”.

SUKSESI POLITIK DAN RITUAL ANARKI

Fajlurrahman Jurdi
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-Indonesia

Kamis, 01-02-2007

Media Centre -- Untuk apa kekuasaan ada, untuk siapa kekuasaan berguna, kepada siapa kekuasaan berkhidmat?. Pertanyaan ini terus muncul disetiap zaman dan di setiap episode peradaban. Berbagai pencarian bentuk sistem politik, lahirnya dan matinya suatu negara, tumbuh dan tenggelamnya peradaban, semuanya bermuara pada satu soal: yakni bagaimana mencari bentuk kekuasaan. Atas nama kekuasaan, makam pahlawan dibangun diberbagai kota. Kekuasaan memang selalu meminta korban.Tulisan ini hendak menguji keabsahan suksesi politik sebagai sebuah agenda negara demokrasi dengan kebiasaan ritual suksesi di Indonesia yang berakhir dengan radikalisme dan anarkisme yang disebabkan oleh ambisi kekuasaan yang terlampau besar, sehingga menghalalkan segala cara dalam upaya menciptakan teror politik yang melanda negeri transisi yang pongah ini. selama ini, suksesi di Indonesia diwarnai dengan ritual mistisisme elit-elit politik yang meminta kepada dunia abstrak dengan pertapaan dan bersemedi untuk mendapatkan “wahyu kemenangan” dengan ritual kekerasan militer yang menjaga kamar-kamar pencoblosan dan proses-proses kampanye politik yang mewarnainya, sehingga ritual kekerasan, ritual anarki dan radikalisme adalah merupakan “persembahan” suksesi politik Indonesia yang telah lama menghiasi dunia politik kita. Tanpa pembedahan yang tajam, suksesi politik Indonesia akan selalu diwarnai dengan korba-korban akibat ritual “sesat” dan ritual “sadis” tersebut, tanpa ada rasa bersalah dari aktor-aktor pemain politik yang ada ditingkat elit.

Menurut Alan Brier suksesi politik didefinisikan sebagai cara kekuatan politik disampaikan, atau ditransfer, dari seorang individu, pemerintah atau rezim, ke individu, pemerintah atau rezim lain. Jadi, Suksesi politik adalah menyangkut upacara demokrasi, untuk meneguhkan dirinya sebagai salah satu indikator keberhasilan sebuah negara dalam melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses-proses politik yang berjalan. Antara “kekuatan” dan “jabatan” dalam suksesi harus benar-benar diterjemahkan secara simultan, karena yang ditransfer adalah “posisi kekuasaan” dan “otoritas kekuasaan” kepada orang lain, yang tentu saja kemampuan seseorang untuk mengapresiasi gagasan yang telah dirintis sebelumnya akan berbeda. Disinilah sesungguhnya akan terbangun satu rezim politik ideologis, yang menghendaki bahwa konstruksi politik yang telah dirintisnya, paling tidak bisa dilanjutkan oleh pewaris ideologis setelahnya. Akibatnya dalam proses transisi diwarnai dengan restu politik dan keterlibatan aktor-aktor lama yang sedang berkuasa untuk menyukseskan kader ideologisnya.

Bagi komunitas yang anti kemapanan, suksesi seperti ini hanyalah merupakan ritual suksesi yang tidak membawa perubahan, akibatnya situasi politik dan pergeseran kekuasaan tidak menyebabkan terjadinya pergeseran kebijakan dan karakter atas sistem politik yang ada. Lahirlah kekuatan politik yang lain yang akan mengancam posisi kekuasaan yang mapan ini, bahkan melabrak kekuatan politik yang mapan demi melancarkan agenda politik yang di usungnya.

Dalam proses suksesi, yang terjadi biasanya adalah gesekan politik yang sedikit memanas, karena pertarungan antara kekuatan politik yang saling merebut kekuasaan bisa menyebabkan terjadinya mobilitas massa politik meningkat. Tingkat emosi sosial ditentukkan oleh dukungan politik yang diberikan oleh mereka atas orang-orang tertentu yang menjadi calon penguasa politik dalam proses suksesi tersebut. Emosi sosial ini dapat bangkit jika terjadi gesekan kencan ditingkat elit, sementara elit yang diatas mengakomodasi tokoh-tokoh kultural untuk mendukungnya dalam menyukseskan agenda politik yang diusungnya. Provokasi elit kultural jauh lebih memiliki daya tarik kental dibanding dengan provokasi yang dimainkan oleh siapapun. Misalnya, di Jawa Timur, seorang ulama dianggap sebagai mesin penggerak massa yang efektif, karena dalam kultur masyarakat Islam Jawa. Ulama adalah pusat segala-galanya. Bahkan ada ulama yang kemudian dimitoskan, hingga kemudian dianggap sebagai pembawa wahyu; suatu pikiran irasional masyarakat tradisional yang masih bisa disaksikan dalam masyarakat Indonesia.

Hampir setiap proses suksesi politik, kekerasan dan anarki adalah merupakan simbol, bahwa suksesi berjalan dengan baik. Seakan-akan anarki adalah merupakan salah satu syarat, bahwa suksesi berlangsung dengan sukses jika dibarengi dengan anarki. Sehingga anarki adalah merupakan ritual yang bersamaan dengan ritual suksesi itu sendiri. Antara ritual anarki dan ritual suksesi sebagai proses politik tidak bisa dipisahkan. Dan celakanya, dalam ritual ini, yang selalu menjadi korban persembahan ritual adalah masyarakat, sementara pemimpin-pemimpin ritual tidak terkena kecipratan atas persembahan ritual tersebut.

Suksesi politik di Indonesia selalu diwarnai oleh ritual-ritual anarki, yang selalu menjadi korban persembahan adalah “manusia-manusia kecil” yang hidup dalam ketergantungan penuh atas permainan kekuasaan yang ada diatas mereka. Soeharto mempertahankan kekuasaan yang begitu lama diatas suksesi politik dengan ritual-ritual anarki yang sangat sistematik. Bahkan perjalanan kekuasaannya dipertahankan dengan persembahan atas “manusia-manusia kecil” ini sebagai tumbal. Dan para korban atas tumbal tersebut bertebaran dimana-mana. Ritual anarki terakhir yang dipersembahkan oleh Soeharto adalah pada tanggal 27 juli 1996, setahun sebelum Pemilu 1997. inilah ritual anarki terakhir yang termasuk dalam kategori sadis sepanjang kekuasaan Soeharto setelah tahun 1990-an.

Ritual anarki dalam proses suksesi politik memang sudah menjadi semacam kewajiban politik yang harus dijalani oleh masyarakat Indonesia, utamanya bagi pemain-pemain politik yang haus akan kekuasaan. Karena kehausan akan kekuasaan menyebabkan “laku bejat” untuk menukarkan darah orang lain dengan kekuasaan yang glamour, bejat dan penuh dusta-dusta.

Perayaan ritual anarki yang paling besar dalam dunia perpolitikan Indonesia terjadi ketika proses penurunan Soeharto tahun 1998, dan diganti oleh B.J Habibie. Anarki massal yang telah menerabas menghancurkan kekuasaan Orde Baru yang hegemonik dan tuntutan politik massa brutal ditahun itu, melahirkan satu catatan politik terpenting bagi proses suksesi politik Indonesia, bahwa proses suksesi yang selama 32 tahun dibawah kendali rezim Soeharto dibajak secara “sadis” oleh kekuatan massa yang tak bisa dipahami sepenuhnya kemauan mereka.

Akhir cerita kekuasaan Soeharto ini, banyak pengamat politik yang bermimpi, bahwa proses politik ditengah transisi demokrasi akan berjalan secara partisipatoris, tanpa ada yang dikorbankan, tanpa ada anarki lagi, tanpa ada janji-janji dusta seperti dulu. Tetapi ritual anarki menjadi semakin gila, korban-korban anarki bertambah kuantitasnya dan tukang-tukang janji dusta semakin menganggap bahwa dusta adalah “berkah politik” yang harus diucapkan. Akhirnya politik dan suksesi politik di Indonesia dipenuhi oleh berbagai cerita-cerita dusta, korban-korban ritual anarki dan ditingkat yang lain pemain politik yang tak pernah merasa berdosa dengan tingkah laku bejatnya.

Ritual anarki kemudian diperparah dengan kehadiran UU No. 22 tahun 1999 yang diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah secara langsung. Ritual anarki yang secara serentak terjadi di seantero negeri ini adalah pasca Pemilu tahun 2004 dan Pilkada Langsung sepanjang tahun 2005. Pilkada Langsung telah menambah intensitas suksesi politik lokal, pada saat yang sama juga ditandai dengan meningkatnya korban-korban ritual anarki. Karena ritual anarki terjadi berbarengan dengan suksesi politik yang terjadi disuatu wilayah. Karena kekuasaan logikanya selalu meminta korban, dan gilanya, yang selalu menjadi korban adalah “manusia-manusia kecil”. Pilkada telah menambah rentetan korban atas ritual anarki ini. konflik horizontal, radikalisme massa, dan penghancuran institusi-institusi negara adalah merupakan korban-korban ritual anarki.

Memasuki tahun 2007 ini, Sulawesi Selatan akan diperhadapkan dengan proses suksesi politik, yang sejatinya juga akan melahirkan ritual anarki. Korban dari ritual anarki ini adalah “manusia-mansuai kecil” yang dimanfaatkan oleh tangan-tangan “iblis” kekuasaan dan pemain-pemain politik yang ingin menghalalkan segala cara, persis seperti anjuran Machiavelli. Indikasi kearah ritual anarki menganga lebar dalam proses suksesi pilkada Sul-Sel nanti, karena tokoh-tokoh primordial, elit-elit adat, dan tokoh-tokoh kunci mistik telah banyak diakomodasi oleh para pemain politik untuk dijadikan mesin mengendali massa. Juga tersebarnya Baleho dan brosur salah satu calon di seluruh daerah di Sul-Sel padahal kampanye belum dimulai, adalah indikasi akan rentan terjadinya ritual anarki yang berbahaya bagi masa depan demokrasi di Sul-Sel. Mudah-mudahan suksesi Pilkada di Sul-Sel terjadi tanpa ritual anarki.


Mahkamah Konstitusi Menghukum Tanpa Batas

Oleh: Fajlurrahman Jurdi

Fajar Kamis, 19-03-09

Hasil kajian PuKAP-Indonesia beberapa minggu terakhir tentang konstitusi, Pemilu, Demokrasi dan Kapitalisme menemukan berbagai problem bangsa kita. Salah satunya dalam tulisan ini mengenai UUD kita, terutama posisi Mahkamah Konstitusi yang merupakan lembaga hukum terpenting di negeri ini. Berikut ini hasil kajian itu.
Salah satu lembaga Negara yang diamanatkan dalam amandemen ketiga UUD 1945 adalah Mahkamah Konstitusi. Ini tercantum dalam Bab IX yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman pasal 24C. sementara pasal 24A dan 24B adalah masing-masing tentang Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam struktur ketatanegaraan RI adalah merupakan bentuk dari tuntutan reformasi peradilan agar MA tidak berkuasa sewenang-wenang sebagaimana di masa Orde Baru. Juga sebagai bentuk dari komitmen, agar UUD 1945 sebagai dasar bernegara tidak dilecehkan sebagaimana masa lalu.
Semangat reformasi mewarnai aroma perubahan UUD mulai dari perubahan pertama sampai perubahan keempat. Namun di dalamnya juga mengidap penyakit legitimasi dan hierarkis yang menjadi rantai panjang persoalan konstitusi hingga sekarang.
Dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 ditegaskan, dan ini menjadi problem lanjutan dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, yakni "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus sengketa tentang hasil Pemilu.
Semenjak Pemilu 2004 dan rantai Pilkada secara langsung sebagai akibat dari "hasutan" demokrasi liberal, persoalan hukum, politik, dan kekerasan mewarnai ritual demokrasi di Indonesia. Kekerasan politik dan ambivalensi demokrasi itu, berbarengan dengan tuntutan terhadap lembaga hukum untuk menyelesaikan perkara. Ditambah lagi munculnya produk legislatif yang banyak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga persoalan hukum kemudian menjadi tambah rumit.
Salah satu Putusan yang amat kontroversial adalah putusan MK pada tanggal 16 Agustus 2006, No. 005/PUU-IV/2006 atas UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, terutama mengenai kata "hakim". Bagi MK, kata "hakim" yang tercantum dalam UU KY, tidak termasuk Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.
Padahal dalam UUD baik dalam batang tubuh maupun penjelasannya, tidak ada pembagian kata "Hakim Agung" atau "Hakim Konstitusi". Tetapi oleh MK, dan keputusan itu amat berani, bahwa kata hakim dibagi, menjadi hakim MA, MK dan hakim PT dan dibawahnya. Tampaknya ini sudah diluar konteks UUD dan MK melewati kewenangan UUD. Inilah upaya "menghukum" tanpa batas, dan celakanya itu dibenarkan oleh UUD.
Setelah selesai putusan ini, ada pertanyaan yang hingga saat ini yang belum bisa dijawab. Siapa yang akan menindaklanjuti keputusan tersebut?. Apabila terjadi penafsiran hukum yang salah oleh MK, maka langkah hukum apa yang akan diambil?. Sementara dalam klausul pasal di atas dikatakan "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final�". Kata-kata ini menutup upaya hukum selanjutnya bagi pihak yang dirugikan.
Akibatnya, KY sampai sekarang tidak memiliki fungsi yang jelas pasca keputusan MK. Juga pertanyaan selanjutnya, Jika UUD memberikan kewenangan kepada MK melampaui UUD, lalu siapa yang akan menjadi eksekutor (yang menjalankan keputusan tersebut?). Di sinilah "banci"-nya DPR hasil pemilu 1999, juga sekaligus "banci"-nya UUD yang kita miliki. Sementara baik dalam UU No. 22 tahun 2004, UU No. 24 tahun 2003, UU No. 5 tahun 2004 masing-masing yang mengatur ketiga institusi kehakiman tidak memberikan instrumen hukum kepada lembaga mana yang akan menjadi eksekutor bagi putusan MK.
Kasus kedua, adalah putusan MK mengenai Pilkada Jawa Timur. Melalui Putusan No 41/PHPU.D-VI/2008, MK memutuskan agar KPUD Jawa Timur (Jatim) melakukan pemungutan suara ulang di Kabupaten Bangkalan dan Sampang. Ada dugaan bahwa putusan itu adalah putusan politik.
Ini dikaitkan dengan posisi ketua MK dan pertimbangan cost politik, serta pertimbangan hukum. Dalam UU Pemilu maupun UU MK, tidak ada klausul yang menyuruh untuk "memilih ulang", akan tetapi yang ada hanya "menghitung ulang suara". Tetapi yang terjadi kemudian adalah memilih ulang, bukan menghitung ulang. Bukankah keputusan itu melanggar hukum?.
Persoalannya MK tidak mengenal kata "melanggar" hukum dalam putusannya. Sebab UUD memberi ruang "nalar" yang sungguh amat merdeka pada MK. Ini menjadi suatu penyakit dalam demokrasi kita, tetapi, sekaligus mungkin inilah yang disebut dengan "kagagapan" demokrasi itu.
MK: Mahkamah Politik
Apabila kita merujuk konteks ini, maka sebenarnya pada bagian-bagian tertentu MK adalah pengadilan politik, bukan pengadilan hukum. Otoritas penafsiran konstitusi sepenuhnya ada di pundak mereka, sementara pada konteks lain, keanggotaan hakim di MK adalah merupakan hasil kolaborasi kuasa politik. Tiga orang dari MA, tiga orang dari DPR, tiga orang dari presiden hingga jumlahnya sembilan orang. Di dalamnya berkecamuk berbagai kepentingan yang hiruk-pikuk.
Mungkin ini merupakan bagian dari cek and balances, agar bisa saling mengontrol, tetapi juga kondisi psikologis hakim yang diproses secara politis dalam pengangkatannya merupakan masalah yang sulit untuk dibuktikan.
Disamping secara tidak langsung, posisi MK ada di atas UUD, maka dengan alasan hukum, MK akan mudah menegosiasikan keputusan-keputusan politis. Padahal seharusnya posisi MK harus dikontrol oleh konstitusi, namun dalam kenyataanya, MK yang mengendalikan UUD.
Tidak ada upaya hukum yang bisa menjerat MK apabila keputusan mereka melanggar nalar konstitusi, juga tidak ada ruang untuk memperbaiki keputusan. Pada akhirnya lembaga ini menjadi absolut dan otoriter. Karena itu, lembaga yang pada awalnya secara filosofis membawa semangat perubahan justru masuk dalam jurang arogansi konstitusional.

Dengan berdasar dan berpijak atas UUD, MK bertindak tanpa batas, menghukum tanpa kendali dan memutus tanpa kontrol, kecuali dengan alasan menjaga otoritas konstitusi. Satu-satunya alasan hukum adalah pasal 1 UUD 1945, dan UU No 24 tahun 2003 tentang MK, sedangkan secara politis, dalam konteks cek and balances keberadaan MK adalah representasi dari trias politica.
Persiapan MK menjelang Pemilu 2009
Sudah diduga oleh banyak kalangan, bahwa Pemilu 2009 ini akan membuat MK bekerja ekstra keras. Maka dipersiapkan ruang sidang teleconference di berbagai perguruan tinggi seluruh Indonesia agar bagi para pihak yang terlibat dalam sengketa Pilkada maupun Pemilu tidak harus ke Jakarta, cukup datang di tempat universitas-universitas yang telah ditunjuk oleh MK dan memiliki fasilitas teleconference. Untuk Sulsel, ruang sidang tersebut bertempat di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Sengketa Pemilu 2009 ini, akan terjadi antara pihak-pihak dibawah ini, yaitu:

1. Antar calon anggota legislatif
2. Antara calon anggota legislatif dengan partai
3. Antar partai kontestan Pemilu.

Kasus ini tidak akan sedikit jumlahnya nanti. Bayangkan, kalau dalam satu Daerah Pemilihan (Dapil) saja untuk Caleg DPRD di Kota Makassar jumlah Caleg berkisar antara 100 sampai 150 orang. Di kabupaten lain juga berkisar antara 25 sampai 50 orang dalam satu Dapil untuk kapubaten/kota. Untuk provinsi dan pusat juga jumlahnya bervariasi. Tergantung dinamika yang terjadi di suatu daerah. Dari jumlah secara keseluruhan itu, 10 persen saja yang bermasalah, maka MK harus bekerja siang dan malam untuk menyelesaikan kasus ini.
Jika MK, misalnya mengabulkan 3-5 persen dari jumlah secara keseluruhan gugatan sengketa Pemilu, institusi mana yang akan menjadi eksekutor dari hasil putusan tersebut?. Jika tidak ada eksekutor, maka untuk apa keputusan itu dikeluarkan?. Tidak kah keputusan itu akan menambah masalah baru bagi MK dan bagi demokrasi?. Tampaknya disinilah kegagapan instrument hukum kita.

Dengan melihat dan menduga akan muncul problem seperti ini, maka harus ada tawaran alternatif yang harus segera diambil, yaitu:
1. Harus segera dibentuk lembaga atau intitusi yang akan menjadi eksekutor bagi keputusan MK.
2. Lembaga/institusi tersebut harus segera dikonsolidasikan dengan DPR, Presiden, MA, KY dan KPU.
3. MK harus menjaga independensi dalam mengambil keputusan, karena ada asumsi, akan terjadi anarki politik yang berbarengan dengan ritual demokrasi.
Inilah persoalan penting yang akan segera menghadang Pemilu 2009 yang berkaitan dengan MK. Juga hukuman-hukuman tanpa batas yang dimiliki oleh lembaga ini. Karenanya, harus segera ada instrumen yang membatasi kekuasaan MK agar tidak terlalu absolut.

PKS Disamakan Soeharto Sebuah Fantasi

Oleh
Fajlurrahman Jurdi
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial Indonesia.

Tribun Timur Sabtu, 27-12-2008

Soeharto - oleh PKS - disamakan dengan Ahmad Dahlan, disetarakan dengan Soekarno, dipadukan dengan Mohammad Natsir. Betul-betul sebuah fantasi yang penuh godaan, namun itu adalah khayalan-khayalan yang menjijikan
Membaca tulisan Aswar Hasan, "PKS: Partai Kroni Soeharto" (Tribun, 18/12) membuat saya tergelitik sekaligus terkekeh, bahwa pandangan Aswar terhadap cita-cita reformasi masih belum kabur.
Ingatan masa lalu yang melekat dalam dirinya masih segar, sehingga kita harus mengatakan, bahwa seorang Aswar tidak mengalami penyakit amnesia akan sejarah masa lalu, sebagaimana yang menghinggapi sebagian besar anak bangsa yang lain, termasuk obyek dalam tulisannya.
Di saat sebagian besar anak bangsa mengidap penyakit "gila" ini, Aswar masih punya ingatan yang tajam akan apa yang telah diikrarkan disaat Soeharto mengalami delegitimasi dan di usir dari panggung politik secara sadis dan menggelikan.
Kacamata berpikir yang digunakan, ide yang dibangun serta gagasan yang lontarkannya, tentu merupakan keresahan akan fenomena penyakit Amnesia yang tidak memiliki obat untuk menyembuhkannya dengan baik, terutama bagi mereka yang berkuasa dan dikuasai di negeri yang hampir "biadab" saat ini.
Tulisan ini ditanggap oleh Irwan (Tribun, 22/12), anak muda yang menurut saya sedang mengalami penyakit amnesia sebagaimana kebanyakan anak muda yang lain.
Saya tahu siapa Aswar Hasan dan kenal siapa Irwan. Tulisan ini menohok menurut saya, karena sedang membela PKS yang memiliki "narasi besar" untuk membangun bangsa ini. PKS sebagai partai baru yang lahir dari jerih payah reformasi, tumbuh menjadi partai besar dan diharapkan sebagai alternatif bagi Indonesia dengan komitmen ideologinya, sebuah harapan bagi siapa saja yang hidup dalam ketidakjelasan transisi demokrasi yang penuh ambisi dan nafsu.
Sebagai partai baru yang lahir dari rahim reformasi, tentu semua orang sadar, bahwa PKS sedang ingin menata Indonesia yang ambruk tidak berdaya menghadapi sirkulasi demokrasi liberal yang penuh gagap dengan pesona gilanya. Selain partai baru, PKS memiliki ciri khas, yakni partai yang "dianggap" banyak orang sebagai partai "ideologis", suatu penempatan yang luar biasa disaat Indonesia tidak memiliki satupun partai Ideologi.
Inilah yang disinyalir oleh Duverger dalam "A Caucus and Brand, Cadre Party and Mass Party", Political Parties (1963). Duverger hanya mengakui dua kategori partai, yaitu partai ideologis atau kader dan partai massa. Dalam konteks ini, PKS pada awalnya adalah partai kader, tetapi lama kelamaan berubah haluan menjadi partai "fantasi". Yaitu bukan partai kader, juga bukan partai massa, tetapi partai yang ada ditengah sebagaimana kata Irwan.
Padahal ada di tengah hanya ada satu yang pasti, yaitu: Fantasi. Ini kemudian betul dengan gaya politik PKS yang suka berfantasi ria tentang Indonesia, tentang Islam, tentang simbol politik, persis seperti tulisan saudara irwan.
Ia ingin seperti pelangi, berubah dalam ketidakpastian, sama dengan ketidakpastian Indonesia yang sedang berfantasi.
Di Indonesia pasca Orde Baru, tanpaknya adalah problem yang menimpa pemilik otoritas, baik otoritas negara maupun pemilik otoritas partai. Pemilik otoritas partai mengalami kegagapan serius ke mana reformasi hendak dibawa.
Aswar adalah seorang intelektual yang masih konsisten dengan moralitas Islam, cita-cita reformasi dan problem-problem yang dihadapinya. Ia juga masih percaya akan masa lalu, tetapi bukan berarti "memberhalakan" masa lalu yang dipercayainya.
Aswar masih memiliki keterkaitan dengan kekuasan Soeharto, sebab pada masa itu, ia telah hidup di dalamnya, dibesarkan, dididik dengan kepongahan, namun tidak berdaya, sama dengan tidak berdayanya Fajroel Rahman yang dipenjarakan oleh rezim yang hampir tidak waras itu.
Utang negara menumpuk, oligarki dibangun dengan megah sambil menindih rakyat, harta dikumpul dengan keringat rakyat, mereka yang mengkritik dihancurkan dengan gaya Fir'aun. Soeharto adalah benar-benar seperti cerita Hannah Arend yang mengungkap kejahatan Nazi, ia setara dengan fasisme, mungkin ia berguru pada teks-teks klasik Fir'aun.
Soeharto - oleh PKS - disamakan dengan Ahmad Dahlan, disetarakan dengan Soekarno, dipadukan dengan Mohammad Natsir. Betul-betul sebuah fantasi yang penuh godaan, namun itu adalah khayalan-khayalan yang menjijikan.
Demi massa, saudara Irwan menafikkan ideologi, demi massa ia lari dari keyakinannya, bahkan demi massa barangkali PKS dan saudara Irwan akan keluar dari Islam. Ini bisa dilihat dalam tulisan dan keyakinannya, menghapus diri dalam hingar-bingar politik aliran, tetapi tetap mengaku PKS sebagai partai yang berideologi Islam, ingin meniadakan simbol demi pemilu 2009, padahal di dalam PKS mereka yang taat beragama, celana bergantung, kopiah menempel di kepala ke mana-mana sebagai simbol politik.
Sebagai partai reformasi seharusnya PKS sadar diri, bahwa masa lalu tidak boleh dilupakan, juga tidak harus dijadikan sebagai dendam, dengan demikian, masa lalu beserta kesalahannya harus dimaafkan. Namun menempatkan Soeharto sebagai guru bangsa dan pahlawan nasional, adalah melupakan masa lalu, bukan memaafkan masa lalu.

Memaafkan masa lalu adalah untuk menjadi arif agar bisa belajar dari dosa-dosa masa lalu, tetapi menghadirkan Soeharto beserta segala kebusukan yang dibangunnya dimasa lalu, adalah betul-betul tindakan yang "tidak waras".
Tingkah laku PKS belakangan ini, menurut hemat saya sebagai orang awam, telah terpisah dari akar persoalan masa lalu, serta hendak berpisah dari ideologi yang dianutnya. PKS sudah mulai tidak percaya dengan keyakinannya, ini terbukti dengan keinginannya menjadi partai yang terbuka, membuka sekat-sekat ideologi, dan berkoalisi dengan partai-partai sekular.
Di saat yang sama ia tetap tampil sebagai kekuatan ideologis. Inilah tingkah laku politik partai, yang dalam kajian ilmu politik disebut perilaku politik (political behavior).
Karena PKS meragukan keyakinan dan hendak menjadi partai "tengah", tidak ke-kiri, juga tidak hendak ke-kanan, maka perilaku politiknya menjadi ambivalen. Di satu sisi secara faktual ia adalah partai kanan konservatif, melebihi PBB dan PPP, namun di sisi lain, takut tidak menang di Pemilu 2009.
Ketakutan ini, jika tidak di rem dengan keyakinan ideologis yang kuat, maka akan terseret arus pragmatisme yang betul-betul menjijikkan. Dan inilah yang sedang menubruk PKS sekarang.
Sikap politik yang mudah berubah seperti bunglon, adalah sikap orang-orang "munafik" sebagaimana yang disinyalir dalam Al Quran.
Ada pembelaan terhadap partai yang begitu kuat, bahkan berani memposisikan partai sama dengan "Islam", adalah sikap naïf orang-orang tidak sehat cara berpikirnya. Karena itu, perlu ada pemisahan dan tidak mencampuradukkan partai sebagai kendaraan politik dan Islam sebagai suatu keyakinan.
Saya menganggap, bahwa Aswar Hasan dengan segenap kelemahan dan kelebihannya, hendak mengatakan kegelisahannya melihat tingkah laku politik PKS yang mulai mengalami tua renta, melewati renta-nya Golkar, PDIP dan PPP sebagai partai lama. PKS sebagai partai yang baru lahir "kemarin sore", secara tiba-tiba dan mengejutkan lupa akan dosa-dosa Soeharto.
Lupa akan segala jerih payah mereka yang telah meruntuhkan Soeharto dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Berbeda dengan saudara Irwan yang masih muda belia seperti muda dan belianya PKS, sedang mengalami penyakit amnesia yang berbahaya. Jika anak muda kita mengidap penyakit "gila" ini, maka tunggulah kehancuran Indonesia.
Karena hari ini seorang tokoh koruptor dipenjara dan tahun depan keluar dari jeruji itu, maka oleh orang-orang yang mengidap penyakit amnesia, sang tokoh koruptor ini juga akan dinobatkan sebagai guru bangsa dan pahlawan nasional. Kalau ini yang terjadi, betul-betul gila dan tidak waras lagi kita sekarang.
(Tribun)